Avesiar – Jakarta
Seorang muslim terbiasa mengatakan “tawakal kepada Allah” ketika menyerahkan sebuah hasil sesuai dengan apa yang disebut kehendak Allah. Sering kalimat ini digunakan tanpa adanya tindakan yang sungguh-sungguh sebelumnya menyerahkan sebuha urusan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’la.
Harus disadari bahwa usaha dan tawakal merupakan satu paket sifat yang harus dimiliki oleh Muslim. Di mana keduanya tidak bisa berdiri sendiri.
Untuk ketegasan perintah agar Muslim berusaha, dikutip dari nu.or.id, Umar bin Khattab pernah mengusir seseorang yang kerjanya hanya berdoa di Masjid. Beliau berkata kepada orang itu: “Tidak ada hujan uang dari langit.”
Riwayat lain menyebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam akan mengerjakan shalat Ashar di Masjid Nabawi Madinah, tiba-tiba ada seorang jemaah datang dari luar kota, menggunakan kendaraan mahal, yaitu unta berwarna merah.
Orang itu melepaskan untanya tanpa diikat terlebih dahulu, kemudian memasuki Masjid, mengikuti shalat berjemaah.
Melihat sikap orang ini Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam kembali dari depan dan bertanya kepadanya:
“Fulan kenapa engkau lepas untamu?”
Orang itu menjawab,
“Aku bertawakal kepada Allah. Kalau Allah takdirkan untaku hilang, meskipun aku ikat pasti hilang. Dan jika Allah takdirkan unta itu tidak hilang, meskipun kami lepas ia tidak akan hilang.”
Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam pun bersabda:
I’qilha wa tawakkal
Artinya: “Tambatkanlah terlebih dahulu (untamu) kemudian setelah itu bertawakal-lah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dengan kadar hadis hasan. Tawakal bukan berarti penyerahan mutlak nasib manusia kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.
Tentu saja kesimpulan mutlaknya bahwa penyerahan yang disebut sebagai tawakal tersebut harus didahului dengan usaha manusia. Jelas sekali Islam memerintahkan agar kita berusaha semaksimal mungkin dalam mengusahakan sesuatu, baru kemudian bertawakal kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wallahua’lam. (put)
Discussion about this post