Avesiar.com
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan makhluknya berpasang-pasangan. Demikian halnya fitrah manusia yaitu pria dan wanita untuk berpasangan dalam pernikahan yang disyariatkan dalam Islam.
Hukum untuk segera menikah pun dalam Islam memiliki perbedaan jika dilihat dari kondisi masing-masing, terutama bagi laki-laki.
Dikutip dari situs Majelis Ulama Indonesia, Jum’at (4/11/2022), diceritakan dalam salah satu riwayat dari sahabat Anas bin Malik RA, bahwa ada tiga orang sahabat yang mendatangi rumah Istri-istri Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Tujuannya adalah bertanya ihwal ibadah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Setelah disampaikan bagaimana dahsyatnya ibadah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, para sahabat tersebut merasa tidak percaya diri.
Hingga mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?”
Lalu salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan melaksanakan shalat malam selama-lamanya.” Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, sungguh akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka.” Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi perempuan dan tidak akan menikah selama-lamanya.”
Tak lama, datanglah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Mendengar perkataan mereka, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Kalian berkata (akan) begini dan begitu. Adapun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga yang paling bertakwa. Namun aku berpuasa dan juga berbuka, aku salat dan juga tidur, aku pun menikahi perempuan. Siapa saja yang membenci sunnahku, maka ia bukanlah dari golonganku.” (HR Bukhari, Muslim, dan Nasa’i).
Sekilas hadits di atas menggambarkan larangan seseorang untuk tidak menikah alias membujang, karena menikah merupakan “sunnah” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Dalam kitab Fath al-Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “sunnah” dalam hadits di atas adalah thariqah (jalan hidup), bukan sunnah yang merupakan lawan kata dari fardhu (wajib)sehingga, kata Ibnu Hajar, maksud dari perkataan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tersebut adalah:
“Siapa yang membenci jalan hidupku, dan memilih jalan lain, maka ia bukan bagian dari umatku”. (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 9, hal. 105)
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitab Syarah Shahih Muslim bahwa maksud dari perkataan Nabi “Siapa saja yang membenci sunnahku, maka ia bukanlah dari golonganku”, bukan diperuntukkan bagi orang yang semata-mata tidak menikah. Melainkan orang yang membenci dan mengingkari anjuran menikah sebagai sunnah Nabi.
Sedangkan orang yang memang dianjurkan untuk menjomblo atau masih sendiri, tidak termasuk ke dalam celaan dan larangan ini. (An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, juz 9, hal. 176).
Keadaan seseorang yang dianjurkan tetap menjomblo diterangkan Imam Nawawi dalam pendahuluan kitabnya, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab:
“Bahwa prinsip kami, orang yang tidak merasa butuh untuk menikah, baginya dianjurkan membujang. Begitupun bagi yang sudah ngebet menikah, tetapi merasa belum mampu menafkahi”. (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, juz 1, hal 35)
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, hukum menikah dalam Islam tidak hanya sunnah. Tetapi tergantung situasi dan kondisi masing-masing individu.
Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fath al-Mu’in menjelaskan bahwa menikah hukumnya sunnah bagi lelaki taiq (yang membutuhkan nikah) dan mampu memikul biaya untuk mahar dan nafkah keluarga.
Bagi orang taiq yang tidak mampu secara finansial untuk memberi mahar dan nafkah, hukumnya lebih utama untuk tidak menikah dahulu dan menahan gejolak syahwatnya dengan berpuasa.
Sementara bagi orang tidak taiq dan tidak mempunyai biaya, makruh hukumnya menikah. Dan menikah bisa menjadi wajib jika dinazarkan. (Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in, hal. 444-445). Wallahua’lam. (adm)
Discussion about this post