SALAH satu pelajaran yang bukan kebetulan, saya dikumpulkan oleh Allah dengan para pelajar yang mayoritas dari negara yang sedang berkecamuk atau dijajah.
Setiap mereka punya cerita berbeda-beda. Ending-nya, betapa agama ini butuh perjuangan untuk mempertahankannya.
Salah seorang dari mereka, Muhammad Amin namanya. Berasal dari Turkistan Timur, negara mayoritas Muslim yang dijajah kemerdekaannya.
Pembawaannya selalu ceria dan tersenyum, lembut, dan bersahaja. Tidak ada sedikit pun guratan kesedihan dari wajahnya.
Amin sangat menguasai ilmu bahasa Arab dan cabangnya. Ia disukai oleh semua masyaikh dan pelajar, bahkan orang Arab sendiri angkat topi untuk kemampuannya.
“Engkau boleh mentarjihkan apa yang engkau mau,” kata pengajar Tathbiq Lughowi ketika berdebat i’rab kalimat.
Setiap hari, Amin menghabiskan waktu menghapal dan murajaah Al-Qur’an. Dialek bahasa Uighur yang berbeda jauh membuatnya perlu berjuang keras untuk menghapal dan memperbaiki bacaan.
Namun, di balik ketenangannya, banyak pelajaran bagi siapa saja yang kurang mensyukuri nikmat Allah.
Amin hampir enam tahun mencari keselamatan di negeri orang, dideportasi dari Thailand, keluar dari Malaysia, terakhir terdampar mencari suaka di Turki.
“Sampai sekarang saya tidak pernah berkomunikasi dengan keluarga,” katanya pada saya suatu ketika.
“Ya Rabb rasanya pingin menangis”.
“Ibu saya berumur 66 tahun, tinggal berdua dengan anak saya. Semua keluarga laki-laki dipenjara, begitu juga istri saya. Tidak tahu bagaimana nasib mereka,” tuturnya.
Amin bercerita, bahwa kejahatan rezim China kepada umat Islam di Turkistan (Xinjiang) melebihi kekejaman Yahudi. Ironisnya, kekejaman panjang ini tertutupi dengan rapi.
Beberapa masa rezim China berusaha membumihanguskan kaum Muslimin secara sistematis dan terencana. Seluruh akses internet diblokir. Sejak Amin berhasil lolos keluar Turkistan, tidak pernah bisa berkomunikasi dengan keluarga yang tersisa.
Ah, batinku. Terkadang ada kesulitan yang kita anggap terlalu besar, padahal belum apa apa.
Mungkin apakah kita yang terlalu manja ataukah dia yang terlalu berat ujiannya?
Bagi saya, enam bulan berpisah keluarga teramat berat rasanya. Sedangkan dia, Amin, harapan untuk pulang saja seperti tidak ada warnanya.
“Baru-baru dia (Amin) SMS ana, komentar tentang demonstrasi di Indonesia mendukung Muslim Uighur. Dia bilang, ‘belum pernah dia dapati masyarakat paling lembut dan care melebihi Muslim Indonesia,” tuturnya di penghujung bulan kemarin.
Amin menetap di Turki hingga saat ini. “Berarti delapan tahun sejak berhasil keluar belum ada kabar dengan keluarga.”
Apakah sampai saat ini sudah berhasil berkomunikasi dengan keluarga? “Belum berhasil, kabar dari beliau beberapa waktu lalu,” tutur Muzhirul Haq.
(ave/dikutip dari hidayatullah.com, terbit Sabtu, 12 Januari 2019 – 15:00 WIB)
Discussion about this post