Avesiar – Jakarta
Ibunya para mukmin atau Ummul Mukminin adalah gelar kehormatan yang disematkan kepada istri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, Siti Khodijah radiallahu ‘anha. Beliau berjuang karena Allah untuk membela Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mendakwahkan Islam.
Siti Khadijah, istri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang pertama dan yang pertama kali beriman akan kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam (assabiqunal awwalun) dari golongan wanita, memiliki jasanya sangat besar dalam dakwah Islam.
Khadijah merupakan sosok perempuan yang tegar dan kuat. Tidak ditemukan dalam riwayat manapun tentang keluh kesah Khadijah ketika menghadapi kesusahan dan kesulitan hidupnya semasa hidup bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Ketegaran Khadijah dalam menghadapi kesusahan hidup, menurut beberapa riwayat, mengalahkan para istri pada umumnya termasuk juga istri-istri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang lain.
Ketika itu Khadijah sedang menyusui Fatimah yang masih bayi. Saat itu seluruh kekayaan mereka telah habis. Seringkali makanan pun tidak punya, sehingga ketika sedang menyusui Fatimah, bukan air susu yang keluar, tetapi yang masuk dalam mulut Fatimah adalah darah.
Kemudian beliau mengambil Fatimah dari gendongan istrinya lalu diletakkan di tempat tidur. Rasulullah yang lelah seusai pulang berdakwah dan menghadapi segala caci maki dan fitnah manusia itu lalu berbaring di pangkuan Khadijah.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tertidur. Ketika itulah Khadijah membelai kepala Rasulullah dengan penuh kelembutan dan rasa sayang. Tak terasa air mata Khadijah menetes di pipi Rasulullah. Beliau pun terjaga.
“Wahai Khadijah, mengapa engkau menangis? Adakah engkau menyesal bersuamikan aku, Muhammad?” tanya Rasulullah dengan lembut.
“Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan. Namun hari ini engkau telah dihina orang. Semua orang telah menjauhi dirimu. Seluruh kekayaanmu habis. Adakah engkau menyesal wahai Khadijah bersuamikan aku, Muhammad?” lanjut Rasulullah tak kuasa melihat istrinya menangis.
“Wahai suamiku. Wahai Nabi Allah. Bukan itu yang kutangiskan,” jawab Khadijah.
“Dahulu aku memiliki kemuliaan. Kemuliaan itu telah aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku adalah bangsawan. Kebangsawanan itu juga aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku memiliki harta kekayaan. Seluruh kekayaan itupun telah aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya.
“Wahai Rasulullah. Sekarang aku tak punya apa-apa lagi. Tetapi engkau masih terus memperjuangkan agama ini. Wahai Rasulullah. Sekiranya nanti aku mati sedangkan perjuanganmu ini belum selesai, sekiranya engkau hendak menyeberangi sebuah lautan, sekiranya engkau hendak menyeberangi sungai namun engkau tidak memperoleh rakit pun atau pun jembatan, maka galilah lubang kuburku, ambilah tulang belulangku. Jadikanlah sebagai jembatan untuk engkau menyeberangi sungai itu supaya engkau bisa berjumpa dengan manusia dan melanjutkan dakwahmu.”
“Ingatkan mereka tentang kebesaran Allah. Ingatkan mereka kepada yang hak. Ajak mereka kepada Islam, wahai Rasulullah.
Karena itu, peristiwa wafatnya Siti Khadijah sangat menusuk jiwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Alangkah sedih dan pedihnya perasaan Rasulullah ketika itu karena dua orang yang dicintainya yaitu istrinya Siti Khadijah dan pamannya Abu Thalib telah wafat.
Tahun itu disebut sebagai Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah.
Siti Khadijah wafat pada hari. ke-11 bulan Ramadlan tahun ke-10 kenabian, tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Khadijah wafat dalam usia 65 tahun, saat usia Rasulullah sekitar 50 tahun.
Diriwayatkan, ketika Khadijah sakit menjelang ajal, Khadijah berkata kepada Rasululllah Shallallahu Alaihi Wasallam,
“Aku memohon maaf kepadamu, Ya Rasulullah, kalau aku sebagai istrimu belum berbakti kepadamu.”
“Jauh dari itu ya Khadijah. Engkau telah mendukung dakwah Islam sepenuhnya,” jawab Rasulullah.
Kemudian Khadijah memanggil Fatimah Azzahra dan berbisik,
“Fatimah putriku, aku yakin ajalku segera tiba, yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong mintakan kepada ayahmu, aku malu dan takut memintanya sendiri, agar beliau memberikan sorbannya yang biasa untuk menerima wahyu agar dijadikan kain kafanku.”
Mendengar itu Rasulullah berkata,
“Wahai Khadijah, Allah menitipkan salam kepadamu, dan telah dipersiapkan tempatmu di surga.”
Ummul mukminin, Siti Khadijah pun kemudian menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan Rasulullah. Didekapnya istri beliau itu dengan perasaan pilu yang teramat sangat. Tumpahlah air mata mulia beliau dan semua orang yang ada di situ.
Kain Kafan Siti Khadijah dari Allah
Saat itu Malaikat Jibril turun dari langit dengan mengucap salam dan membawa lima kain kafan. Rasulullah menjawab salam Jibril dan kemudian bertanya,
“Untuk siapa sajakah kain kafan itu, ya Jibril?”
“Kafan ini untuk Khadijah, untuk engkau ya Rasulullah, untuk Fatimah, Ali, dan Hasan,” jawab Jibril.
Jibril berhenti berkata dan kemudian menangis.
“Rasulullah bertanya, Kenapa, ya Jibril?”
“Cucumu yang satu, Husain tidak memiliki kafan, dia akan dibantai dan tergeletak tanpa kafan dan tak dimandikan,” sahut Jibril.
Rasulullah berkata di dekat jasad Khadijah,
“Wahai Khadijah istriku sayang, demi Allah, aku takkan pernah mendapatkan istri sepertimu. Pengabdianmu kepada Islam dan diriku sungguh luar biasa. Allah maha mengetahui semua amalanmu.”
“Semua hartamu kau hibahkan untuk Islam. Kaum muslimin pun ikut menikmatinya. Semua pakaian kaum muslimin dan pakaianku ini juga darimu.
“Namun begitu, mengapa permohonan terakhirmu kepadaku hanyalah selembar sorban?”
Tersedu Rasulullah mengenang istrinya semasa hidup.
Seluruh kekayan Khadijah diserahkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam untuk perjuangan agama Islam. Dua per tiga kekayaan Kota Mekkah adalah milik Khadijah. Tetapi ketika menjelang wafatnya, tidak ada kain kafan yang bisa digunakan untuk menutupi jasad Khadijah.
Bahkan pakaian yang digunakan Khadijah ketika itu adalah pakaian yang sudah sangat kumuh dengan 83 tambalan di antaranya dengan kulit kayu.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam kemudian berdoa kepada Allah.
Ya Allah, ya Ilahi Rabbi, limpahkanlah rahmat-Mu kepada Khadijahku, yang selalu membantuku dalam menegakkan Islam. Memercayaiku pada saat orang lain menentangku. Menyenangkanku pada saat orang lain menyusahkanku. Menentramkanku pada saat orang lain membuatku gelisah. Oh Khadijahku sayang, kau meninggalkanku sendirian dalam perjuanganku. Siapa lagi yang akan membantuku?
Tiba-tiba Ali berkata, Aku, Ya Rasulullah!
(ard/dari berbagai sumber)
Discussion about this post