Avesiar – Depok
Matahari mulai hangat sinarnya saat janji kami terpaut. Sekitar jam 8 pagi, saat wartawan Avesiar.com sampai di rumahnya di daerah Cinangka, Sawangan, Depok, belum lama ini.
Ketika sampai di depan pagar rumah, seorang pria dengan pakaian sederhana, berkaus dan celana pendek sambil membawa peralatan menyiram tanaman, menyapa wartawan ini. Dalam hati, sempat tidak menyangka pembawaanya pria kelahiran Bogor, 12 Februari 1967, itu apa adanya, seperti kebanyakan orang yang sedang menikmati saat santainya di pagi hari libur, di teras halaman rumah.
Lahmudin Abdullah, pria yang kerap di sapa ”Pak Ustadz” di lingkungannya tersebut mengajak wartawan ini duduk di gazebo dekat burung-burung peliharaannya. Ia tampak santai bersama sang istri menyiram tanaman dan memberi makan burung-burung peliharaannya di Sabtu pagi.

Sambil menikmati kopi, Lahmudin menceritakan bagaimana ia bisa terjun ke politik. Penyuka aneka masakan ikan itu mengaku tidak ada cita-cita dahulu menjadi seorang politisi. “Jadi orang itu kan berkembang. Ketika kecil kita belum tentu punya harapan apa-apa. Cita-cita pun belum terbayang ya. Tapi kemudian di era reformasi, saya merasa bahwa seorang politisi adalah bagian terpenting untuk menentukan wilayah, menentukan kepemimpinan di bangsa ini,” kata Lahmudin membuka bincang santai kami.
Menurutnya, dari situ dia mulai berpikir bahwa orang kampung pribumi itu biasanya suka hanya menjadi objek. Artinya, setiap Pemilu hanya ke sana ke mari. “Dulu hanya ada Ijo, Merah, dan Kuning (partai, red),” ujarnya.
“Begitu saya dewasa, saya berpikir bahwa orang kampung kita ini hanya jadi objek terus. Padahal, ada anggaran-anggaran pembangunan yang bisa kita ambil untuk kemajuan kampung kita. Dari situ saya berangkat. Saya bertekad, saya mengundurkan diri dari tempat bekerja untuk menjadi politisi dan Alhamdulillah,” beber ayah dari 4 putra-putri itu blak-blakan.
Lahmudin mengakui awalnya bekerja di salah satu perusahaan media di Jakarta. Ketika itu dia bekerja kurang lebih 8 tahun.
“Jalan 9 tahun, saya mengundurkan diri. Karena perlu perjuangan, 1 tahun saya pergunakan untuk melakukan sosialisasi, pemahaman, memberikan edukasi kepada masyarakat, agar supaya kita sama-sama Bismillah. Kita dukung warga setempat. Pribumi lah saya sebutnya. Walaupun bahasa itu sudah tidak baik lagi digunakan,” ucapnya.
Akhirnya, niat Lahmudin diijabah Allah dan ia menjadi anggota DPRD Depok di tahun 2014. “Kalau bicara awalnya niat, orang berkembang. Tadinya nggak ada tuh di kepala saya cita-cita untuk jadi wakil rakyat di parlemen. Tapi memang saya punya kesadaran sebagai masyarakat,” terangnya.
Meskipun saat kecil sampai dewasa, ada kesadaran, tapi saat itu masyarakat tidak ada yang berpikir untuk jadi wakil rakyat. “Jika ada publik figur di wilayah kami ini ingin jadi wakil rakyat, tentu kami bantu. Tapi sampai saat itu belum ada,” paparnya.
Di awal reformasi, Lahmudin mengaku memiliki kesamaan paham dengan apa yang disampaikan oleh Amin Rais. “Memang background saya didikan Muhammadiyah, dari situlah saya merasa ada kecocokan. Saat reformasi mulai memiliki keinginan berpolitik. Tapi saat itu saya tidak langsung masuk partai. Niatnya perjuangan dan saya sebagai warga dukung Pak Amin Rais,” kenangnya.
“Kemudian setelah ada peluang ke arah situ, ya saya pikir. Kenapa tidak saya masuk.”
Mengenai pertama kali rasanya belajar politik, lanjutnya, ia mengikuti perkembangan. Dikatakanya, kalau partai itu diawali paling bawah yang disebut ranting, kemudian cabang, kemudian wilayah, kemudian pusat.
“Saya duduk di bagian yang paling kecil. Saya sebutnya di ranting. Nah, di sinilah saya membina masyarakat, kemudian saya terus memantau ke atas. Dari atas ketika itu istilahnya bottom up ya. Apa yang dari bawah ke atas disampaikan. Kemudian sampai di atas disikapi. Itu kita belajar arahnya, ke mana dan seperti apa,” terangnya.
Lama-lama, tambah dia, mereka saling memahami. Ia mengaku sesekali bertengkar dengan orang-orang yang di atas. “Karena itu kita perjuangkan. Dulu sebelum reformasi kita selalu top to down dan sering dipaksakan. Nah, di era reformasi baru mulai bottom – up. Kebutuhan masyarakat kita sampaikan, kemudian oleh pusat dipikirkan. Dan kemudian turun ke bawah, Itu yang kemudian dicintai masyarakat,” paparnya.
Ketika ada otonomi daerah di era reformasi, imbuhnya, kita akan lihat bahwa perkembangan daerah mulai terasa. Pembangunan terutama. Sebelumnya karena dari atas, tergantung siapa yang bawa. Komunikasi hanya satu arah.
“Dalam bermasyarakat, saya menggunakan bahasa “khairunnas anfauhum linnas” yang artinya, “sebaik-baik manusia adalah mereka yang memberikan manfaat untuk orang lain.” Itu yang menjadi dasar keyakinan saya untuk bisa berjuang di politik. Jika tidak punya manfaat, untuk apa kita kerjakan,” tegasnya.
Lahmudin mengaku juga pernah sampaikan doa kepada masyarakat. “Doa saya, sekiranya saya berniat jadi anggota dewan, kemudian tidak punya manfaat bagi orang lain, semoga Allah tidak kabulkan. Sampai begitu saya berucap. Tapi, doa saya adalah, saya jadi politisi dan wakil masyarakat dan punya nilai manfaat,” kata pria yang mewakili daerah pemilihan (dapil) Sawangan, Bojongsari, dan Cipayung itu.
Berikut penuturan Lahmudin Abdullah kepada wartawan senior Ave Rosa A. Djalil.
Misalnya pembangunan jalan, jika atas nama pribadi, saya tidak akan mampu jual aset saya. Tapi ketika ada jabatan anggota dewan di pundak kita, hal itu bisa kita perjuangkan.
Masyarakat daerah tempat saya terpilih, secara umum saya lihat saat itu masyarakat masih buta pada politik. Sehingga masuh sering dijadikan objek. Jadi belum punya wawasan ke depan harus membentuk pemimpin yang seperti apa. Belum. Kalaupun ada dari masyarakat yang sekian banyak, saya kira di daerah Sawangan, Bojongsari, Cipayung, sekitar 20 persen saja.
Kesadaran politik menurut saya akan menentukan pemimpin yang baik. Itu yang saya lihat. Sehingga keawaman ini, dijadikan objek oleh calon-calon politisi, itu yang berbahaya. Apalagi dari partai orang lain. Selain dari partai saya. Ini yang saya arahkan ke masyarakat untuk melek berpolitik. Bahkan saya juga ada komunitas muda, yang usianya baru 17 tahun ke atas, yang sebelumnya mereka benar-benar buta berpolitik.
Buta itu dalam arti, tidak mau tahu. Apatis ini saya kira berbahaya ke depannya. Apalagi tuntutan masyarakat dengan ekonomi yang masih menengah ke bawah, pragmatis. Ya kan? Jadi bahasa mereka, “gue dibagi apa”? Gampangnya begitu. Ini yang membahayakan. Karena, saya katakan kepada mereka, kalau semua masyarakat begini cara berpikirnya, saya bilang, setan pun bisa jadi pemimpinnya nih bangsa.
Asalkan punya uang. Sekarang kita tahu yang punya uang kan golongan-golongan mereka yang saya anggap tidak mau tahu. Ini kan yang bahaya. Asal mereka punya uang, dibagi uang. Ya kepilih. Cara-cara itu digunakan oleh politisi, sementara masyarakat tidak mau belajar. Ini kondisi politik yang saya anggap sangat parah ke depan.
Makanya saya punya komunitas anak muda, yang saya beri nama “Melek Politik”, supaya mereka jangan apatis dengan keadaan. Ayo dong, mau tahu dengan keadaan. “Jangan apatis”, bangun, saya bilang. Awalnya grup ini anggotanya sedikit, sekitar 10 orang. Lalu lama-lama berkembang. Sekarang ada sekitar 50 orang angotanya dalam satu grup.
Cuma itulah, saya kemudian punya penilaian. Dari 50 orang lebih ini yang suka komen, hanya tidak lebih dari 10 orang. Saya melihatnya dari pantauan grup WA-nya. Saya kadang pancing dengan keadaan-keadaan yang mereka mau berpikir. Tapi yang komen ya sedikit itu.
Saya sih bisa ketemuan dengan mereka untuk semacam copy darat sebulan sekali, ngobrol lah. Cuma yang diobrolin sebatas aspirasi sifatnya. Mereka pengen ini, pengen itu. Namun saat saya pancing obrolan secara nasional atau lokal, tidak berkembang. Karena ‘melek’ politiknya kurang.
Mengenai didikan orang tua hingga berani menjalani kehidupan saat ini dan berpolitik. Saya ini kelompok orang tidak punya. Orang tua saya orang yang tidak punya pendidikan, tapi ingin anak-anaknya berwawasan dan berpendidikan.
Jadi orang tua saya itu begitu marah kalau anak-anaknya tidak sekolah. Begitu kesal ketika anaknya malas. Itulah yang disampaikan ke saya dan dididik kepada saya. Dengan ketidakberadaan, kemudian kami menjadi mandiri. Orang tua saya petani. Mudanya dulu pedagang. Tapi pedagang pikul pada zaman itu. Yang berdagang di kawasan Tanah Abang, Dukuh Pinggir. Seminggu sekali pulang.
Kecil saya seperti itu dididik. Kemudian seperti tadi saya katakan, orang tua marah sekali kalau kita tidak sekolah. Dengan kondisi ketidakberadaan itu kami bisa mandiri dan kami lima bersaudara. Saya paling bungsu. Dan semuanya kakak saya masih hidup. Namun, kedua orang tua saya saat ini sudah tidak ada keduanya. Jadi kemandirian itulah yang kemudian membuat kita jadi dewasa.
Saya masuk Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Kampung Kebon, Kelurahan Cinangka. Kemudian dari MI saya masuk ke SMP Muhammadiyah 19 di Sawangan. Dari SMP melihat kondisi kita mungkin sudah mulai agak bandel dan sebagainya, saya dimasukkan ke pesantren atas saran kakak saya disuruh masuk pesantren.
Di pesantren lah saya mulai belajar semuanya. Saya Alhamdulillah pesantren di Gontor. Nggak ada istilah mahal masuk Gontor, yang ada susah waktu itu. Karena secara financial atau biaya ketika itu murah. Dan sekarang pun juga murah. Gontor itu biayanya murah. Biaya hidupnya juga murah. Di Jawa itu apa yang mahal. Hanya, Gontor itu kan punya tingkat kedisiplinan yang baik.
Bayangkan, orang tua saya yang tidak punya penghasilan tetap setiap bulan, kecuali jual hasil pertanian, bisa memberikan saya pendidikan saya di Gontor. Berarti kan murah. Dan sampai sekarang murah. Kenapa saya bilang murah? Karena anak saya yang bontot juga di Gontor.
Jadi, orang tua, sampai saya ke luar dari pondok, ada bahasa, “Lahmudin, kalau lu mau sekolah, lu jual tuh tanah.” Karena Baba (panggilan orang Betawi ke bapak, red), nggak punya duit buat nyekolahin elu. Mengarahkan sekolah ke mana pun nggak. Yang penting sekolah aja. Pahamnya hanya sekolah. Karena beliau memang tidak disekolahkan seperti kita zaman sekarang ini.
Jadi itu riwayat saya. Jadi untuk kuliah, saya betul jual tanah. Jual tanah lah orang tua saya. Tahun 1989. Setelah saya lulus pesantren. Tanah yang dijual ya tanah di samping rumah saya ini. Dan sudah saya beli lagi dari orang yang dulu beli ke orang tua saya. Kita balas dendam. Haha.
Jadi tahun 1989 jual tanah per meter dengan harga 12 ribu. Punya tanah 1000 meter itu dijual Rp 12 juta. Yang jual calo, sampai ke orang tua saya ya hanya Rp 10 juta. Rp 2 juta buat calonya. Lalu saya pergunakan untuk Saya buat kuliah berdua sama kakak saya. Dia di IAIN (sekarang UIN, red), saya kuliah di Budi Luhur (Universitas, red). Abang saya di IAIN selesai, saya di Budi Luhur juga selesai. Tahun 1994 saya selesai dan diwisuda. Saya bergelar S.Kom ketika itu karena sudah peralihan dari gelar Insinyur.

Saya selesai kuliah, saya di wisuda di hotel Shangrila, kemudian saya bawa Bapak dan Ibu saya dengan keberadaannya dan bangganya. Ketika orang lain Bapaknya menghadiri wisuda dengan berdasi dan berjas, saya karena orang tua orang kampung, apa adanya. Dengan kebanggaan yang tidak saya pahami seperti apa mereka merasakannya. Cuma selesai kuliah juga nggak buru-buru enak.
Saya baru dapat kerjaan yang baik itu sekitar 4 tahun setelah lulus. Sebelumnya saya masih kerja serabutan. Masuk di asuransi, dan lain-lain. Saya malu ketika itu ketika sudah lulus kuliah, di mata orang tua masih belum berpenghasilan dengan baik.
Tapi saya terus berusaha, saya juga mengajar di pondok pesantren. Nah, mengajar itu saya kerjakan ketika saya masih kuliah. Saya mengajar di pondok pesantren Al Hamidiyah di Depok. Jadi hari-hari saya tidak bergantung pada orang tua. Dan itu saya dapatkan kemandirian sejak saya ke luar dari pondok pesantren. Jadi walaupun orang tua susah, tapi anaknya harus bisa mandiri.
Saya sarankan kepada semua orang, bahwa tunduk dan patuh kepada orang tua itu kunci. Saya merasakan, ketika kita terus meminta doa orang tua, sebandel apapun kita, pasti akan jadi orang baik. Minimal orang baik. Orang tua tidak pernah mendoakan anaknya yang salah. Itu yang saya lakukan.
Saya selalu minta doa kepada Ibu saya. Bapak meninggal 2017, dan Ibu kemarin tahun 2019. Sebelum pandemi Covid. Jadi ini merupakan anjuran buat semua, sesuai tuntunan agama. Dan saya termasuk orang yang sudah membuktikan. Bahwa taat kepada orang tua itu pintu kesuksesan.
Ya, terlepas sukses itu maknanya bisa bermacam-macam, tapi bagi saya di keluarga saya, saya termasuk yang sukses. Ketika saya sudah mulai mandiri dan berhasil, ekpresi orang tua saya ya biasa saja. Sekalipun mereka senang, tidak pernah mereka ucapkan.
Mereka hanya bersyukur. Yang saya tahu, Ibu saya selalu bertahajud setiap malam. Saya baru tahu sekarang, mungkin beliau berdoa untuk kesuksesan anaknya. Tapi ketika itu saya belum tahu karena masih usia anak-anak. Karena mereka biasa dididik taat sama agama.
Ketika saya mulai tua, rupanya inilah doa orang tua. Yang hari ini saya rasakan. Sampai pernah ada tetangga yang bertanya kepada Ibu saya, cara mendidik anak bagaimana supaya anak menjadi baik barangkali ya. Alhamdulillah, saya di sini, di kelurahan Cinangka, menjadi orang pertama yang masuk ke politik dan jadi anggota dewan, walaupun levelnya hanya kabupaten kota.
Sebelumnya belum pernah ada. Meskipun levelnya hanya kabupaten kota. Namun, kontribusi kepada masyarakat lebih banyak di kabupaten kota. Pusat dan provinsi tidak bisa begitu. Tapi kalau daerah mengelola APBD-nya sendiri pasti lebih bisa dirasakan oleh masyarakat.
Yang mencalonkan diri dari kelurahan tempat tinggalnya yaitu Cinangka, di wilayah Kecamatan Sawangan, bisa dikatakan sejak dulu banyak. Namun dia mengatakan bahwa yang menjadi wakil rakyat atau anggota dewan dari kelurahan tersebut sejak 2014 ya baru saya saja.
Ya karena Allah memberikan kepercayaan kepada saya dan orang memilih saya. Saya kira itu.
Keberhasilan Lahmudin tidak serta merta didapatkan begitu saja dengan mudah. Perjalanan karirnya pun penuh warna seperti halnya orang lain. Dia mengaku, pertama kali kerja digaji sekitar Rp 900 ribu di tahun 2011. Saya join pada salah satu perusahaan media yang bekerja sama dengan maskapai Garuda. Tapi itulah yang membuat saya semakin mandiri. Sehingga orang BNI yang take over salary atau gaji kami itu bilang, “Ini sarjana lho, kok gajinya cuma segini”. Sampai orang akunting saya bilang “mungkin dia tahap percobaan 3 bulan”.
Itulah yang saya sebut tadi kemandirian. Pertama rezeki memang dari Allah. Ketika diaudit angka segitu nggak jadi apa-apa. Zaman itu. Tapi kita terus aja jalan. Kalau ditanya sesusah-susahnya apa. Ya saya susah atau malu kepada orang, ketika kita mendapat gelar sarjana, tapi hari-hari kita masih belum sebaik titel sarjana yang disandang. Itu saja. Saya rasakan malu, termasuk pada orang tua.
Tapi kalau bicara uang. Bicara uang lho ya. Saya kan didikan Gontor dengan kemandirian yang saya punya, saya bisa ngajar privat di rumah-rumah orang. Bahkan yang saya ajarkan itu bukan hanya anak-anak, tapi orang tua pun saya ajarkan. Ibu-ibu dan bapak-bapak. Di saat saya nganggur, saya dibayar pakai cek sama orang gara-gara ngajarin orang itu ngaji. Saya sampai punya anak 2 waktu itu, tidak punya penghasilan yang mapan.
Tapi orang tidak tahu bahwa uang tetap ada datang, karena saya mengajar ngaji. Tapi orang menganggap saya seorang pengangguran. Itu yang saya rasakan. Saya ngajar ngaji ke komplek-komplek, orang tua. Kemudian setiap kali ada kegiatan-kegiatan keagamaan, saya mengisi dan bahkan saya jadi tenaga rohani di Bank Tabungan Negara (BTN) hingga saya terima gaji. Ya kelihatannya hari-harinya nganggur.
Kenapa kelihatannya nganggur? Karena saya ya mancing sama teman-teman ke mana-mana. Saya ke luar ngajar di waktu-waktu tertentu saja. Jadi orang lain nggak tahu. Betul-betul banyak hikmah yang saya rasakan. Ya pendidikan di pesantren yang membuat saya mandiri. Tidak mudah tergantung pada orang lain. Ya Alhamdulillah sampai saat ini.
Yang luar biasa, tanah yang tahun 1989 dijual orang tua saya untuk membiayai saya kuliah, ketika saya sudah jadi anggota dewan bisa saya beli kembali. Tahun 1989 orang tua jual tanah Rp 12 juta, tahun 2015 saya beli kembali tanah itu seharga Rp 2 miliar. Walaupun uangnya pinjam. Dan Ibu saya masih ada. Itu yang membuat saya bahagia. Sampai Ibu saya tidak percaya tanah yang pernah dia jual kembali lagi. Dengan jalan yang susah, bahkan saya papah jalannya, saya beri tahu beliau, “ini sudah saya beli, Mak”. Emak saya sering tanya nggak percaya, “itu udah lu beli, Lahmudin?”
Ini memang kejadian cukup lucu, sampai orang tua atau Ibu saya nggak nyangka. Sampai tanya,”duit sebanyak itu lu dapet dari mana Lahmudin?” Saya jawab, ya Allah yang kasih, Mak. Toh saya juga nggak ngeliat uangnya. Karena kan dibayar antar bank (pinjaman, red). Sampai orang tua saya tidak percaya dan berkali-kali beliau menanyakan itu. “Lu beli lagi, Lahmudin?”, Saya jawab, “iya, Mak.”
Saya begitu terharu, hingga sampai meninggalnya Ibu saya yang pergi dengan ikhlasnya. Meskipun saya tidak menyaksikan langsung, karena saya pas dinas ke Tangerang dan istri saya yang mengawal. Beliau sebelumnya sudah mandi, sudah bersih. Sudah dikasih makan, kemudian beliau menghadap Allah. Dan beliau sempat permisi kepada saya pagi harinya.
Waktu itu saya pamit mau pergi. Saya bilang, “Mak, saya mau pergi. Saya ada rapat di Tangerang. Emak saya terbangun dari tidurnya dan beliau berkata, “Mau ke mana, Lahmudin? Anterin Emak pulang yuk!” Nah, itu jawaban Emak saya yang saya ingat sampai sekarang. Saya bilang, “Emak kan di rumah. Kok anterin pulang?” Emang beliau habis bangun tidur. Saya pikir masih belum sadar banget dari tidurnya. Karena menjelang akhir hayatnya beliau tinggal ya di rumah saya ini. Ketika itu beliau usianya sekitar 83-84 tahun.
Udah saya berangkat rapat di Tangerang. Baru selesai rapat setengah dua belas siang, istri telpon, “Ayah pulang, Emak sudah nggak ada.” Kaget saya. Akhirnya saya segera pulang. Saya akui tidak maksimal, tapi saya berusaha semampu mungkin merawat orang tua. Dan itu yang saya sebut di awal tadi, ridho orang tua membawa kebaikan pada anaknya. Jadi bagi yang masih punya orang tua, jangan segan-segan berbakti kepada orang tua, karena mereka pembuka segalanya. Jalan kehidupan kita di dunia semuanya melalui orang tua, terutama Ibu.
Untuk hubungan keluarga, saya bersaudara berhubungan dengan baik. Bahkan meskipun hanya 1 bulan sekali, kami ada arisan keluarga. Semua 5 keluarga, kakak saya 3 perempuan, saya dan kakak di atas saya yang laki-laki. Kami berlima kumpul, lengkap dengan anak cucu dan cicit. Karena sudah ada yang punya cucu, bahkan cicit. Silaturrahmi kami baik. Setiap hari raya saya bisa memberikan THR kepada keluarga meskipun bilangannya tidak banyak.
Sebagai orang kelahiran Cinangka, terhadap kondisi anak muda. Anak-anak muda itu, pertama saya minta para orang tua untuk melakukan pengawasan pendidikan kepada anak secara maksimal. Karena memang kondisi zaman yang seperti ini membuat kita orang tua lalai. Yang pertama soal pendidikan agama. Itu menjadi bagian yang sangat penting. Pendidikan agama di lingkungan kita sudah mulai kendor. Terutama di era digital yang banyak dipengaruhi oleh HP dan lainnya, yang menurut saya menjadi masalah. Kalau kita sebagai orang tua tidak arif dan bijaksana menyikapinya.
Jadi menurut saya, anak kecil jangan dikasih HP lah. Anak SD dan SMP belum waktunya. Karena yang banyak dipergunakan untuk main games. Karena mereka belum tahu manfaat, plus dan minusnya. Banyak racunnya dari pada positifnya. Itu yang pertama. Yang kedua, buat anak mudanya. Ya kalian bakal besar. Akan lepas dari orang tua. Yang menentukan hidup adalah diri kita sendiri. Orang tua hanya mengarahkan secara maksimal. Jangan sampai minta dijualkan harta hanya karena urusan dunia.
Fenomena anak yang minta sesuatu yang belum seharusnya dimiliki pribadi dan belum perlu digunakan anak seusia itu, dibelikan. Walaupun orang tuanya susah. Sehingga saya katakan bahwa, untuk biaya pendidikan orang tua ngeluh. Tapi kalau untuk anak minta beli motor atau apa dibelikan. Dan ini terjadi di sini dan sudah begitu itu kondisinya. Sehingga untuk meneruskan generasi berkualitas ke depannya, saya kira berapa persen. Sedikit sekali ke depannya SDM. Ini kita sebutnya SDM. Nah, ini kan orang tua punya peran, lingkungan punya peran, dan kita harus atasi bersama.
Jangan sampai nanti kehilangan, kita sebutnya kehilangan figure ke depannya. Itu yang saya perhatikan lemah baik itu di Masjid, di masyarakat. Jadi kehidupan ini harus kita tanggulangi bersama. Anak-anak muda juga harus punya kesadaran.
Di kampung, orang yang tadinya punya tanah, sekarang sudah jarang. Karena sudah dijual kepada pendatang, yang dia sendiri dapat apa. Alasannya jual hartanya buat makan. Bekalilah anak-anak itu dengan ilmu wahai para orang tua. Supaya anaknya berilmu. Kalau anaknya berilmu, In syaa Allah kita jual tanahpun buat sekolah anak, anaknya bisa jadi mandiri. Pendapat saya begitu. Kalau tidak seperti itu, kita akan merasakanlah. Semua bisa merasakan sendiri.
Jadi hari ini, orang tua yang bersusah payah menyekolahkan anaknya dan agar jadi mandiri, saya kira di hari tuanya mereka akan lihat anak-anaknya senang. Tapi kalau orang tua menjual hartanya untuk anak hanya untuk urusan dunianya, orang tua hingga akhir hayatnya saya kira akan sedih.

Mengenai konsep madrasatul ula. Saya sering ceramah di acara-acara pengajian dan lainnya, sesuai firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Jangan engkau tinggalkan generasi setelahmu generasi yang lemah”. Ini jangan diterjemahkan lemah ekonomi saja, tapi lemah ilmu, lemah iman, lemah agama. Itu yang paling parah. Jadi sering saya sampaikan itu. Dan kesadaran untuk memberikan pemahaman pada anak adalah bagian yang sangat penting.
Hari ini orientasi orang mendidik anaknya supaya bisa cari kerja. Mindset-nya begitu. Padahal tuntunan agamanya kan tuntutlah ilmu sampai negeri yang paling jauh. Maksudnya tuntutlah ilmu sebanyak-banyaknya. Ini saya sampaikan kepada orang tua, aplikasinya terserah mereka seperti apa. Kemudian saya tidak bisa memantau. Tapi saya sudah mengarahkan dan selalu mengajak.
Karena saya rasakan betul bahwa orang yang berilmu itu lama-lama rezeki yang mencari mereka. Rezeki yang akan datang kepada mereka. Duitlah yang saya katakan, kalau rezeki bicaranya duit. Duit yang akan datang kepada mereka. Bukan mereka mencari duit. Begitu kan?
Kecuali pendidikan orientalis, kalau orientalis, mungkin punya duit dulu. Karena anggapan mereka, orang yang berduit bisa memanggil orang yang berilmu. Kan gitu. Pendidikan mereka begitu. Tapi kalau kita, berilmu dulu. Nanti dunianya mengikuti, bahasanya.
Sekarang ada orang yang pandai membolak-balik. Kan yang penting gue punya duit. Kalau gue punya duit, bisa panggil guru, bisa panggil ahli, segala macam. Repot kalau begitu. Jadi ini saya sampaikan ke orang tua.
Ayo dong orang tua, ini firman Allah tidak pernah salah. Jangan sampai kita tinggalkan generasi setelah kita generasi yang lemah. Ya memang kita prihatin ke depan. Kalau dulu orang tua meninggal, masih ninggalin tanah. Lima ratus meter dibagi-bagi. Sekarang susah. Nggak ada lagi. Dia bangun rumah aja habis tanahnya nggak ada halaman.
Saat ini, bahkan anak yang seharusnya belum layak punya hanya HP, dibelikan oleh mereka. Jadi kita harus mengira-ngira. Saya juga belum tentu bisa berhasil pada keluarga saya. Tapi tetap saya sampaikan agar jangan sampai kita terjerumus. Nanti setelah itu pendidikan lingkungan. Harus kita bentuk. Karena memang informasi di era seperti ini datang ke kita. Pergaulan bebas, datang ke kita. Yang menjerumuskan itu bisa dibilang lebih banyak dari pada yang bermanfaat.
Jadi hari ini kebenaran dan kebaikan itu dianggap aneh oleh orang. Dianggap biasa saja dan terkesan aneh. Tapi sesuatu yang maksiat lama-lama dianggap biasa. Saya prihatin sekali kondisi ini. Saya ajak seluruh elemen masyarakat untuk berperan aktif mendidik lingkungan.
Saya kira itu, saya sudah sampaikan. Kalau Nabi bilangnya, Bala syahidna ya Allah. Saya bersaksi dan saya sampaikan. Sudah kita sampaikan, hanya aplikasinya diserahkan kepada orang tua masing-masing. Tapi keprihatinan ini ada di benak saya ke depan.
Saya ini di rumah, ini anak-anak bermain luar biasa. Kita tidak bisa pernah menghitung fluktuatif kedatangan orang di tempat kita. Tapi dalam tempo 2-3 tahun ini, sudah banyak sekali anak-anak generasi sesudah kita ini yang kita nggak paham mereka bermain seperti apa dan sebagainya.
Sehingga saya ini di RT saya, saya panggil RW, saya bikin lingkup pendidikan kecil di lingkungan. Habis Maghrib sampai Isya, ‘haram’ hukumnya anak bermain. Jam belajar. Itu diingatkan terus, karena redup, bermain lagi anak. Redup, bermain lagi anak. Dan memang nggak boleh bosen dan harus kontinyu.
Kemudian secara kelembagaan, saya sebagai perwakilan masyarakat di DPRD, saya pernah menyampaikan sebuah ide. Sistem yang menurut saya baik. Waktu itu saya panggil dinas pendidikan, kemudian saya sampaikan ke wali kota, bahwa saya berharap ada kebijakan lokal di kota Depok ini, yang mana kebijakan lokalnya itu adalah, setiap hari di SD anak-anak diajarkan agama selama 1 jam. Dan ini menjadi kebijakan lokal. Dalam 1 jam pelajaran agama itu kita ajak mereka belajar tajwid, belajar Al Qur’an, belajar fikih, belajar tarikh, belajar agama Islam, seluruhnya. Kita ajarkan di waktu 1 jam itu.
Saya kira, kalau sudah 5 tahun anak-anak belajar, 6 tahun kan di SD, ada hasil. Sudah melekat. Saya yakin ada hasil. Saya yakin dengan haqqul yaqin, bahwa ini akan ada hasil. Pendidikan lokal ini mohon bisa dipakai di Depok, yang waktu itu saya diskusi dengan kepala dinas pendidikan ketika itu.
Saya sampaikan juga kebijakan ini kepada wali kota. Kami duduk bareng. Kami bicara anggaran-anggaran yang cukup. Kami bicara sumber daya manusianya, atau gurunya. Saya kira kita bisa memanggil guru-guru tamatan UIN, guru-guru lokal, hanya untuk mengajarkan anak-anak di SD saya kira semua bisa memiliki pemahaman agama yang cukup.
Dan saya bilang, rasakan 20 tahun ke depan. Saya bilang, 20 tahun ke depan, kita bisa mencetak generasi yang paling tidak, juz amma hafal. Orang mereka belajar 6 tahun. Setiap hari 1 jam. Paling tidak mereka mengerti shalat seperti apa. Sejarah Islam seperti apa. Saya sampaikan ini. Cuma, karena memang pemerintah kita mungkin pemikirannya tidak sampai ya. Program ini belum jalan sampai sekarang.
Padahal kalau, saya sebut saja, pemegang kebijakannya di kabupaten kota Depok ini, itu sesuatu yang sangat gampang. Jadi ini saya anggap ide cemerlang untuk sebuah masyarakat ke depan. Supaya konsep kebijakan lokal ini bisa berlaku dan kita rasakan manfaatnya bukan instan, tapi 10-20 tahun ke depan.
Saya bilang, jika anak SD selama 6 tahun diajarkan agama Islam 1 jam setiap hari, masa iya 6 tahun nggak dapat apa-apa. Lihatlah lokal kita di Depok. Tawuran, anak-anak terkena obat-obatan, dan lainnya yang negatif. Ini kita tanggulangi karena usia SD ini kan usia Golden Age. Usia-usia yang harus dimasukkan hal-hal yang baik. Jadi, otorisasi wali kota ini gampang sekali kalau mau lakukan ini. Karena penting sekali.
Saya juga prihatin, di Depok pesantren tidak banyak. Orang tua memandang pendidikan agama bagi anaknya tidak begitu penting lagi. Makanya saya katakan tadi, tidak ada alasan pemerintah itu tidak bisa. Saya berbicara ini bukan hanya agama Islam, monggo yang Kristen, monggo ya Hindu, monggo yang Budha. Sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Kita sama-sama mewujudkannya dan membangun. Ini character building atau pembangunan karakter. Membangun diri dimulai di Golden Age ini.
Saya sedih sekali kalau kebijakan ini tidak jalan. Ini saya sudah perjuangkan semenjak saya awal jadi anggota DPRD. Tahun 2014 gagasan ini sudah saya cetuskan. Karena saya berpikir, kalau lokal-lokal nggak bisa. Saya sering bilang, ada 100 ulama, paham hadist, Al Qur’an dan segala macam, tapi ada 1 pemegang kebijakan yang tidak berpihak. Atau saya sebutnya, 10 ulama tidak laku disbanding 1 tanda tangan wali kota. Sudah selesai, itu saja. Kalau wali kota mau berbuat apa saja bisa.
Jadi saya anggAp otorisasi pemegang kebijakan ini sangat penting menentukan arah masyarakat ke depan. Saya ingat Pak Amin Rais ketika saya pertama kali mendapat pendidikan saat menjadi anggota DPRD, kata beliau, jadi anggota dewan ini, kalau ingin masuk surgA, lewat tol bisa.
Tapi juga sebaliknya. Ingin masuk neraka, masuk tol juga bisa. Nah, itu kan pengertiannya harus dijabarkan. Jadi, terus mendorong kebaikan. Sekali lagi, yang punya sentral kebijakan adalah pemimpin. Pemimpin ini di kabupaten ya wali kota, provinsi ya gubernur, dan nasional adalah presiden.
Coba dibayangkan. Jika seorang pemimpin memerintahkan semua ASN agar setiap hari shalat berjamaah, pasti semua ASN akan shalat berjamaah. Dan ini bukan monopoli agama Islam, tapi semua agama melakukan hal yang sama. Pemimpin itu, kalau melakukan kebaikan, ia mendapat kebaikan dari seluruh orang yang melakukan kebaikan itu. Juga sebaliknya, Akan mendapatkan dosa yang banyak jika apa yang dilakukannya menjadi sebuah maksiat yang dilakukan oleh masyarakat.
Kalau di organisasi, saya kebetulan ada di organisasi Muhammadiyah. Mereka sudah punya pakem sendiri. Di Muhammadiyah saya hanya sebagai pengawal. Karena Muhammadiyah kan organisasi besar yang sudah diatur secara keseluruhan. Jadi, kita sudah mewakafkan diri untuk kemajuan Muhammadiyah. Di Masyarakat ya saya berharap seperti apa yang saya katakan tadi, hidup penuh tuntunan agama supaya nanti kita menjadi selamat di akhirat.
Dengan dunia itu saya kira tidak ada ukurannya. Ada orang yang sudah punya uang banyak pun, ketika dia merasa miskin, pasti dia katakan masih miskin. Coba lihat, orang-orang korupsi itu kan bukan orang miskin. Level menteri, untuk apa coba? Kalau selevel menteri korupsi, menyunat anggaran. Ini untuk apa coba pikirkan. Kalau di rumah tangganya sudah cukup, uangnya sudah banyak. Untuk apa lagi?
Jadi pesan saya bagi yang beragama Islam, jangan tinggalkan agama. Organisasi-organisasi Muhammadiyah, NU, Persis, bahwa organisasi ini ada untuk membentuk generasi. Peran organisasi jangan berlomba-lomba mencari dunia.
Saya kira, andaikan banyak, ladang usahanya, misalnya Muhammadiyah. Ada SD, SMP, SMA, ada perguruan tinggi, tapi kemudian tidak menengok hasilnya masyarakat seperti apa, saya anggap ini juga masih kurang. DI Nahdlatul Ulama juga begitu. Misalkan banyak pesantren, tapi tidak menengok generasi sesudahnya, saya kita itu juga perlu ada yang kita benahi.
Maka membenahi masyarakat itu kewajiban kita semuanya. Dalam surah Ali Imran disebutkan, “Kuntum khaira ummatin ukhrijat lin-nāsi ta`murụna bil-ma’rụfi wa tan-hauna ‘anil-mungkari wa tu`minụna billāh,” Artinya, “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”
Orang bilang ngajaknya gampang, tapi mencegahnya susah. Tapi kalau bersama-sama In syaa Allah mudah. Terutama bagi yang menjadi pemimpin, yang kepemimpinannya tidak selamanya, untuk ber-amar ma’ruf nahi mungkar. Tapi kalau masyarakat kelihatan akan jatuh ke jurang kehancuran, maka tugas kita sama-sama untuk memperbaikinya. Kita benahi lagi kurikulum. Benahi lagi tatanan kemasyarakatannya. Kita benahi lagi bagaimana pemerintahannya.

Di sektor pendidikan, ketika saya berada di Komisi D, pernah saya sampaikan kepada dinas pendidikan, untuk tidak memberikan izin kepada sekolah melakukan studi banding yang saya sebut hedonis, konsumtif, dan lain sebagainya. Yang akhirnya memberatkan orang tua untuk membiayai. Di satu sisi, kalau saya bicara ke anak-anak, anak-anak bilang “mau, mau jalan-jalan”, tapi kan mereka tidak mengerti dengan kondisi ekonomi orang tua.
Banyak guru-guru yang menjadikan itu sebagai dasar atau alasan, bahwa anak-anaknya mau untuk jalan-jalan. Saya kira, saya harus cari jalan tengah dengan kondisi semacam ini. Yang realistis lah, jadi kalau sekiranya ingin melakukan sebuah studi, di wilayah kita masih banyak tempat yang bisa dijadikan wadah untuk studi semacam itu. Kemudian tergantung pada sisi guru dan sekolah membentuknya seperti apa, supaya tetap terkesan refreshing.
Dengan biaya sekian, tapi anak-anak tidak jauh-jauh, kemudian dijelaskan dijelaskan kepada orang tua, biayanya digunakan untuk ini..ini.. ini.. Ya orang tua juga akan menerima. Tapi kalau studi banding dengan biaya bus, masuk area rekreasi, penginapan hotel, ya jelas itu memberatkan. Dan mahal, terkadang tidak ada yang tidak ada risiko. Kadang-kadang ada risiko.
Ketika sebuah sekolah sudah terbentur kepada sebuah risiko, misalnya dia ke pantai kemudian ada anak-anaknya ada yang tenggelam, baru merasakan. Dengan bus ada masalah di jalan. Kan sudah banyak kejadian. Pihak sekolah kerja sama dengan pihak EO (event organizer, red).
Saya imbau melalui jalan tengah bahwa banyak cara yang bisa digunakan untuk refreshing dan di situ ada kajian nilai studinya. Saya cuma khawatir kalau dipaksakan dengan biaya besar, ada nilai komersilnya di situ. Hal ini tentu harus kita perhatikan agar jangan sampai memberatkan orang tua. Untuk jalan-jalan semacam ini, nanti anak-anak itu kalau sudah kerja bisa melakukannya sendiri.
Yang bisa mengubah hal-hal semacam ini adalah kebijakan seperti yang saya katakan di awal tadi, dari pemimpinnya. Bisa dikasih sanksi jika ada sekolah yang melakukan hal-hal semacam itu. Bisa dicabut izinnya atau bantuannya. Karena sekolah swasta mendapatkan dana BOS (bantuan operasional sekolah, red).
Sedangkan untuk pemberdayaan masyarakat, terutama ibu-ibu atau bapak-bapak. Ada dana infrastruktur yang dikelola setiap komisi di DPRD. Misalnya ada jalan yang rusak, masyarakat minta diperbaiki, itu menggunakan dana aspirasi.
Pertama saya bicara secara APBD. Tidak ada nomenklatur, yang memberikan pembenahan terhadap organisasi. Jadi misalnya kelompok-kelompok majelis taklim tidak ada anggaran dari APBD. Yang ada yaitu pembangunan majelis taklimnya, itupun bersyarat. Salah satu syaratnya majelis taklimnya sudah punya nama atau terdaftar di pemerintahan, kemudian asetnya juga sudah terdaftar. Maka APBD akan ke situ. Akan ada sentuhan ke sana. Tapi untuk jemaahnya tidak ada, kecuali dia kategori orang tidak punya, itu masuk dalam kelompok KDS kami menyebutnya, dengan menggunakan Kartu Depok Sejahtera.
Saya ketika memberikan manfaat kepada masyarakat tidak pernah ada tawar. Besok pilih saya ya, besok bantu saya ya. Saya yakin orang punya kesadaran sendiri bahwa mereka lihat kok, saya berjuang untuk kepentingan rakyat. Karena filosofi saya “bermanfaat bagi umat dan orang lain”, inilah manfaat yang saya ingin berikan kepada orang banyak.
Yang penting masyarakat lihat, saya bekerja untuk kepentingan masyarakat. Ini kelurahan Cinangka ini kalau tidak salah sudah saya guyur apsirasi sekitar 72 titik. Kalau rata-rata minimal satu titik saya sebut Rp 150 juta, saya kira kalau 72 titik bisa dihitung sendiri. Belum yang di luar Cinangka.
Itu yang bisa kami perjuangkan. Tapi bargaining atau tawar menawar saya kepada kepada masyarakat, tidak pernah saya lakukan. Program yang saya tawarkan kepada masyarakat dari sisi reliji seperti yang saya sampaikan di awal tadi. Masyarakat kan juga tergantung pemimpinnya.
Pemimpin terendah saat ini saya anggap RT lah ya. Walaupun ketua RT tidak dapat APBD banyak, hanya sekedar insentif dari pemerintah yang mungkin relatif masih kecil yaitu Rp 700 ribu per bulan, yang dibayarkan per tiga bulan.
Ini juga termasuk perjuangan saya ketika di dewan di badan anggaran, bahwa saya katakan, RT – RW harus menjadi pusat perhatian pemerintah, karena ini adalah pemerintahan level terkecil, dan mereka langsung menjadi bempernya masyarakat. Itulah kemudian pemerintah kasak-kusuk, kasak-kusuk, mengeluarkan APBD untuk RT – RW. Sebelumnya itu nol. Itu perjuangan kami di dewan, insentif RT – RW, sekarang ada walaupun tidak banyak. Tentu berbeda dengan DKI Jakarta yang nilainya sudah jutaan.
Apakah punya program untuk anak muda untuk ke depannya?
Level kelurahan ada namanya Karang Taruna, bergerak lebih pada hal yang bersifat sosial, tidak fokus pada masalah keagamaan. Jadi saya ingin mencoba di grup anak-anak muda binaan saya “Melek Politik” tadi, untuk menjajaki ke depan. Apakah nanti bisa eksis atau tidak.
Saya berharap anak-anak muda bisa berkumpul di grup ini yang saya siap mewadahi baik secara kebutuhan finansial organisasinya, dan lain-lainnya. Tujuannya agar, saya sendiri menciptakan kader ke depan, karena saya khawatir lepas saya tidak menjadi anggota dewan, tidak ada lagi nih anggota dewan dari wilayah ini. Karena semua anggota masyarakat sudah heterogen, majemuk dengan beragam keinginan dan orang pendatang juga banyak.
Nah, saya harapkan dari “Melek Politik” ini, teman-teman bisa berkumpul dalam wadah ini. In syaa Allah kita lakukan pembinaan. Ini bagian dari program saya. Lalu secara umum, ketika kita menjadi wakil rakyat di Depok, kita perjuangkan berbagai macam aspirasi masyarakat yang sudah ada di bidangnya masing-masing. Majelis taklim, sekolah, kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Mereka bisa sampaikan ke kita dan kita support.
Cuma, kalau aspirasi masyarakat kita akomodir. Setiap tahun, itu sekitar Rp 4 miliar. In syaa Allah 95 persen cair, bisa terealisasi. Itu bagian yang kita perjuangkan sebagai wakil rakyat di DPRD. Wirausaha dan kelompok tani pun ada anggarannya dan dibina oleh pemerintah. Pemerintah melakukan pendanaan untuk itu.

Soal mendidik anak dan keluarga bagaimana?
Mendidik anak dan keluarga. Saya tidak pernah menuntut anak-anak saya harus jadi apa. Saya bilang sama anak-anak saya, “Jangan tinggalkan shalat”. Itu saja. Jadi saya marah ketika anak-anak saya melalaikan masalah shalat. Walaupun sekarang sudah pada dewasa. Dan hari ini kalau kita hanya mendidik dengan nasehat saja susah, jadi saya dengan prilaku langsung.
Saya mencuci piring di rumah. Saya ada waktu mengepel di rumah. Saya ada waktu menyapu di rumah. Saya kalau nyuruh orang, menggaji, bisa. Tapi saya lakukan ini demi sebuah pendidikan. Biar mereka lihat, bahwa kemandirian itu sebuah keharusan dalam hidup sampai di masa yang akan datang.
Kita kadang arahkan anak menjadi ini atau itu, namun kadang juga akhirnya anak-anak bisa beda pilihan. Jadi saya hanya minta ke anak-anak saya, jangan tinggalkan shalat. Itu yang jadi kuncinya. Cuma itu saja harapan saya.
Anak saya empat. Paling besar laki-laki sudah kerja. Nomor 2 laki-laki jadi guru SD dan sedang kuliah S2. Nomor 3 perempuan baru lulus UIN, dan bontot saat ini sedang mondok di pesantren setara kelas 3 SMA.
Bagaimana menjalin kemesraan dengan istri?
Rumah tangga itu dinamis. Hari kita kami berdua saling membutuhkan peran masing-masing. Keberhasilan kita ditopang oleh istri. Istri membutuhkan suami dalam rangka membesarkan anak-anak dan dalam rangka keberlangsungan hidup berkeluarga. Istri saya orang Palembang, yang dulunya murid belajar ngaji saya. Haha. Cerita ketemunya ya panjang.
Cara menghabiskan waktu bersama, dengan istri kadang masak bersama. Saya dengan anak-anak bahkan yang sudah besar seperti teman, kadang bercanda, teman diskusi. Pokoknya dibuat asyik lah semuanya.
Bagaimana mengisi waktu luang?
Waktu luang saya habiskan untuk bangun kontrakan. Supaya ada penghasilan. Saya memelihara ikan seperti gurame, ikan mas. Memelihara burung. Saya tidak pernah merasa harus menjaga image. Apa yang bisa saya kerjakan, saya kerjakan. Depan rumah saya kan jalanan. Saya sapu kalau pagi. Tujuannya mengingatkan agar jangan membuang sampah sembarangan. Biar anak-anak melihat.
Apa yang tidak disukai?
Yang saya tidak suka, saya menyebutnya tantangan, yaitu orang yang bermaksiat kepada Allah. Kedua, orang yang tidak bersyukur. Jadi kalau orang tidak bersyukur pada manusia, apalagi sama Yang Maha Kuasa. Jadi kita harus sering-sering silaturahmi.
Saya berterima kasih kepada masyarakat yang men-support saya dan masyarakat pun berterima kasih kepada wakilnya yang sudah memperjuangkan aspirasinya. Kadang kalau ada yang tidak menganggap apa yang sudah dia dapatkan. Saya dalam hati bilang, ini orang nggak ada berterima kasih. Ini orang nggak ada bersyukurnya. Tidak bersyukur pada Allah. Dan kita pun sering punya keterbatasan.
Apa pesannya untuk anak-anak muda?
Pesan untuk anak-anak muda, mereka harus melek segala hal. Bahwa lingkungan harus dibentuk oleh kita. Saya hal yang harus kita garis bawahi adalah kita akan digantikan oleh generasi setelah kita. Dan mereka, didikannya, benar-benar ada di tangan kita.
Perkataan itu dulu saya dengar dari ustadz. Anak-anak muda itu harus kita latih terus. Misalnya saat di Mushola, saya bilang, kamu itu nanti menggantikan saya lho. Jadi sekarang harus belajar jadi imam. Kalau bacaannya kurang fasih, kita benahi.
Jadi kalau saya datang ke Musholla belakangan itu semata-mata harapannya ada berani jadi imam shalat. Sekarang sudah mulai. Saya selalu sampaikan saat kultum Ramadhan juga. Hasilnya. Alhamdulillah semakin baik. (Ave Rosa A. Djalil)
Discussion about this post