Pengembangan di bidang sumber daya manusia memang selalu menarik untuk dicermati. Di belahan dunia manapun, sumber daya manusia menjadi kunci keberhasilan sebuah organisasi. Organisasi atau secara umum terwujud sebagai perusahaan, lembaga, instansi, atau organisasi yang berhubungan dengan sosial, budaya, dan kemasyarakatan, selalu berupaya meraih keberhasilan. Sukses atau tidaknya sebuah perusahaan dan lembaga, dapat terlihat dari bagaimana para pimpinan dan karyawannya berfungsi secara maksimal sebagai sumber daya yang diharapkan memajukan organisasinya.
Di Indonesia, hamper semua perusahaan setiap tahunnya menganggarkan biaya untuk meningkatkan kualitas SDM. Namun, mereka juga sering harus memutuskan memilih lembaga training SDM seperti apa yang cocok dengan kondisi yang ada, dibutuhkan agar memberikan solusi untuk lebih maju, serta dapat memberikan pendampingan dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Ada begitu banyak juga motivator serta trainer dari berbagai lembaga training baik terkenal secara figure personal pimpinannya, maupun nama baik lembaganya. Satu di antara lembaga training tersebut adalah SCB Consulting yang memiliki konsep berbeda dibandingkan konsep training lainnya.
Wartawan senior Ave Rosa A. Djalil mewawancarai secara khusus Agung Solihin, Founder & Chief Executive Officer SCB Consulting atau PT. Semangat Cipta Bermanfaat, yang selain memiliki sertifikasi International Organizational Culture Consultant dari Denison Consulting (Michigan, Amerika) di 2016, ia juga baru saja meraih gelar doktor di bidang sumber daya manusia Universitas Trisaksi, Jakarta, awal Maret lalu.
Konsep training yang dinahkodai Agung melalui SCB Consulting adalah lebih menitikberatkan pada fungsi leader di setiap organisasi. Menurut banyak penelitian, leader adalah orang yang mampu membuat sebuah perusahaan atau organisasi hebat. Namun, mereka hanya sering membuat sebuah organisasi hebat dalam jangka waktu pendek atau short term. Karena tidak fokus pada budaya organisasi.
Agung menjelaskan, jika seorang leader ingin membuat sebuah organisasi hebat dalam jangka waktu lama atau long term dan sustain, maka dia harus menciptakan sebuah budaya organisasi. Itulah mengapa, lanjutnya, jika seorang leader yang mampu membuat hebat sebuah perusahaan atau divisi tertentu, kemudian dipindahkan ke tempat lain, maka perusahaan atau divisi yang ditinggalkannya menurun secara performa.
Sehingga, beber ayah dari 6 anak ini, budaya organisasi yang baik juga dapat diwariskan kepada pimpinan berikutnya atau banyak orang mengatakan sebagai “legacy”. “Pernah dalam sebuah dialog nasional yang dihadiri beberapa pejabat, saya diminta sharing. Lalu saya katakana, bahwa seseorang itu tidak bisa dikatakan hebat hanya saat ketika dia menjabat. Namun, lebih pada ketika seandainya dia sudah tidak menjabat. Legacy apa yang dia tinggalkan. Banyak pejabat yang setelah tidak menjabat, tidak meninggalkan apapun yang berkesan. Berbeda dengan pejabat atau leader yang ketika tidak menjabat, ia meninggalkan sesuatu yang berkesan bagi bawahan dan perusahaannya,” papar pemilik sertifikat dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan Master Practitioner & Trainer NNLP International pada 2016 ini.
Jika flashback ke masa lalu saat Agung menjadi motivator, banyak bawahan yang ketika mendapatkan training. Selalu mengeluhkan mengapa selalu mereka yang harus berubah. Sedangkan mereka memiliki banyak atasan atau leader yang juga punya keinginan berubah masing-masing. Sehingga, kata Agung, mereka bingung mau ikut leader yang mana. Saat beberapa waktu ikut training mereka semangat, karena di perjalanannya para leader tidak seiring dengan apa yang mereka harapkan, akhirnya mereka malas lagi untuk berubah.
“Nah, program training SCB adalah bagaimana membuat leader itu punya langkah yang sama, arah yang sama, dan nilai yang sama. Sehingga para bawahan bisa mengikuti leader yang tujuannya sama dan tidak berubah-ubah. Satu komitmen. Gaya leader bisa berbeda, tapi tujuannya sama. Para bawahan pun, jika sudah dipimpin oleh para leader yang tujuannya sama, maka di manapun mereka berada, akan berusaha melakukan yang terbaik karena sudah tahu arahan para leader-nya,” ujar penyuka Dim Sum ini.
Direktur Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UNDIRA ini juga pernah sharing dengan beberapa profesor. Di saat itu para professor menanyakan, bagaimana Agung bisa membuat orang dengan latar belakang berbeda, karakter berbeda, bisa memiliki misi yang sama. Penggemar B.J. Habibie ini mengatakan memang susah, tapi bisa. Contohnya seperti orang yang ibadah Haji. Latar belakang berbeda, asal negara berbeda, bahasa berbeda. Namun bisa melakukan hal yang sama. Itu karena sudah ada arena yang membuat mereka melakukan hal yang sama. Ada arena wukufnya, ada arena tawafnya, ada arena sa’inya. Ketika berganti raja, mereka tinggal menyesuaikan saja. Pemimpin baru yang menggantikan hanya tinggal menyempurnakan saja.
Yang sekarang terjadi apa, lanjut pria yang hobi menyanyi ini. Ketika terjadi pemimpin berubah lagi. Dari awal lagi. Sehingga banyak anggota organisasi yang apatis. Berubah misi lagi, berubah visi lagi. Yang muncul kemudian adalah ego leadership. Jadianya ingin agar eksistensinya saja yang terlihat di depan anggota organisasi. “Kami mengajak para leader melalui training yang kami adakan berkomitmen membuat arena. Arena yang disebut di sini adalah arena tanda kutip, yaitu dalam bentuk prilaku yang disepakati. Arena behavior. Bagaimana jika bertemu dengan orang mengapresiasi, displin itu ada, tanggung jawab ada, integritasnya terlihat,” ujar pemilik disertasi berjudul “Peran Budaya Organisasi Dalam Mediasi Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Orientasi Strategis dan Sumber Daya Organisasi Terhadap Kinerja Organisasi”.
Berbicara tentang budaya organisasi di Indonesia. Menurut kelahiran April 1979 ini, secara umum yang berlaku dan pekerjaan rumah para leader. Sadar atau tidak sadar, yang dilakukan oleh para leader adalah sedang menciptakan budaya. Menariknya, ketika ada orang yang salah, tidak pernah dikasih punishment. Maka akan tercipta, bahwa salah tidak apa-apa. Ketika ada orang jujur dan disiplin, orang itu tidak pernah diapresiasi. Maka terciptakan budaya, jujur dan disiplin itu tidak penting. Tumbuh suburlah tidak disiplin dan tidak jujur. Ini pun berlaku di rumah. Saya berharap kita tidak hanya bicara tentang organisasi, tapi bicara tentang di rumah. Jangan sampai seseorang hebat di organisasi, tapi tidak hebat di rumah.
“Sederhananya adalah ketika anak kita berantakin mainan, kita akan marah-marah. Namun, kalau anak membereskan mainannya, kita lupa kasih apresiasi. Akhirnya tanpa sadar si anak akan berpikir, kalau ingin dapat perhatian ya berantakin mainan. Sehingga muncullah anak-anak yang cari perhatian. Sebenarnya mereka bukan nakal. Karena menurut si anak, cara mendapatkan perhatian adalah dengan seperti itu. Ketika dia sudah besar, jadi karyawan. Sukanya berantakin kerjaan karena ingin dapat perhatian. Jadi hal seperti itu bisa terbawa dari masa kecilnya. Kalau dia jadi pejabat, dia bukan berantakin kerjaan lagi, tapi melakukan korupsi. Tertangkap kemudian masuk televisi bukannya malu, tapi malah hepi. Karena dia tidak sadar bahwa itu sebuah kesalahan. Sehingga membangun budaya memang harusnya diawali dari rumah,” paparnya.
Karena itu yang dia tekankan adalah bagaimana pimpinan secara sadar membangun budaya yang baik, daripada tidak sadar sedang membangun budaya. Jika secara sadar sedang membangun budaya, maka semua pimpinan akan benar-benar fokus untuk sebuah tujuan. Budaya yang dibawa dari rumah sangat berperan dalam organisasi. Misalnya di rumah saling menghargai, maka di dalam organisasi pun seseorang itu juga akan menghargai orang lain. Sering kebanyakan orang membedakan di organisasi urusan sendiri, di rumah urusan sendiri. Padahal, tambah Agung, seharusnya di keduanya juga harus bisa hebat. Sering orang berpikir bagaimana berprestasi di organisasi, namun tidak berpikir untuk berprestasi juga di rumah.
Konsep training yang dibawa oleh SCB, jelas Agung, sangat adaptif dengan perkembangan jaman karena budaya yang dibangun bukan bersifat outside-in. Yaitu memaksakan sesuatu misalnya, yang cocok di organisasi ini adalah budaya dinamis atau budaya statis. “Tapi kita harus lihat, apa yang sesuai dengan organisasi ini. Hal ini harus disesuaikan dengan divisinya masing-masing. Misalnya seorang akunting, maka dia cocok dengan budaya statis. Jika bekerja di bagian marketing, maka budayanya dinamis. Sedangkan di bidang IT, maka harus inovatif. Jadi kami sesuaikan untuk masing-masing bagiannya. Namun, kami punya core values yang sudah ditetapkan,” kata dia.
Jadi menurut pria berkacamata ini, budaya itu ada tiga ruang lingkup. Yang pertama adalah budaya organisasi, berbicara tentang keseluruhan organisasi tersebut yang berupa kesepakatan core values. Kemudian dijalankan bersama. Ketika core values itu sudah dijalankan dan disepakati, diterapkan ke masing-masing bagian, itu namanya budaya kerja. Budaya kerja adalah budaya organisasi yang diterapkan di tiap-tiap bagian. Dan secara bentuk implementasinya tidak sama. Disesuaikan. Maka seorang security, ungkap Agung, cara menghormatinya tidak sama dengan cara menghormati pimpinan. Karena mereka memiliki budaya kerja sendiri. Ramahnya seorang security adalah ketika dia menyapa, mempersilahkan, ketika dia membantu orang. Bagian akunting akan terlihat budaya kerja ketika dia efektif dan efisien saat berhitung secara tepat dan cepat. Secara budaya kerja berbeda, namun secara budaya organisasinya itu akan sama.
Yang ketiga adalah etos kerja. Hal ini berbicara tentang etik dan individunya. Ketika dia melakukan secara individu budaya yang sudah ditetapkan dan dia buy-in ke dalam dirinya, maka itulah etos kerja. Tapi jika sesuatu tidak berhubungan dengan organisasi itu namanya karakter. Dalam budaya organisasi, karakter individu itu disebut sebagai etos kerja. Hal ini menjadikan seseorang karyawan teladan, karyawan yang disiplin, dan sangat profesional.
Dijelaskannya, bahwa harus ada alignment antara arah organisasi, arah dari masing-masing bagian, dengan secara individu. Jadi ini semuanya sejalan. Di sinilah fungsi seorang leader yang harus mampu memberikan beliefs atau keyakinan. Menyampaikan bahwa nilai, visi, dan misi organisasi itu sangat penting kepada seluruh anggota organisasi. JIka sebuah organisasi memiliki karyawan yang banyak bahkan hingga ribuan orang, maka seorang leader harus menanamkan beliefs atau keyakinan tadi. Karena tidak mungkin bisa memahami karyawan satu per satu. Dan dia juga harus role model. Leader jaman dulu dengan sekarang agak berbeda. Leader jaman dulu harus menguasai “bagaimana menyampaikan dengan baik”. Sedangkan leader jaman sekarang, harus menguasai “bagaimana bertanya dengan baik’.
Mengapa? Karena jaman dulu informasi terbatas. Sehingga, kata dia, para anggota organisasi menunggu leader untuk memberikan arahan. Kalau si leader tidak dapat menyampaikan dengan baik, maka akan terjadi miskomunikasi. Jaman sekarang, informasi bebas. Bisa jadi anak buah kita atau anggota organisasi kita lebih tahu banyak dari kita. Jika masih pakai cara lama, akan ketinggalan. Sehingga skill leader saat ini membutuhkan “bagaimana bertanya dengan baik”.
Agung menjelaskan bahwa membangun budaya di SCB Consulting itu ada delapan tahap. Tahap pertama dan kedua melibatkan collective leaders atau seluruh leader. Yaitu leader yang punya posisi atau orang yang tidak punya posisi, namun berpengaruh. Pada tahap ini kami mengajak mereka untuk me-redefine design ataukah reinforcement design dari organisasi. “Kenapa kami memulai dari hal itu dulu? Ibaratnya begini. Kalau kita ingin mengurai benang kusut, yang pertama kali kita cari adalah ujung dan pangkalnya. Ujung adalah bicara visi, dan pangkal adalah kondisi kita saat ini. Dan bagaimana langkah-langkah yang harus kita buat atau roadmap untuk mencapai visi itu. Kemudian apa values yang harus kita harus miliki agar kita bisa mencapai visi itu dan dibuat di awal. Sehingga akan dapat menentukan, budaya apa yang paling sesuai untuk organisasi kita,” terangnya.
Hal ini yang disebutkan sebelumnya oleh Agung, yaitu bukan outside-in, tapi inside-out. Dan belum tentu budaya barat cocok dengan perusahaan di Indonesia dan belum tentu juga budaya perusahaan lain cocok di tempat lain. Kalau dipaksakan, ujarnya, yang terjadi pasti akan berat dan terjadi pertentangan. Dengan metode inside-out, maka lebih maksimal hasilnya. “Bisa diibaratkan seperti telur. Jika telur dipecahkan dari luar, maka akan menjadi telur dadar atau makanan. Sedangkan bila pecah dari dalam, maka akan menjadi anak ayam atau disebut sebagai kehidupan atau pertumbuhan. Dimulai dari situ. Jadi desain budaya organisasi dibuat atau dikuatkan. Jika visi, misi, dan nilai sudah dianggap bagus dan relevan. Sudah dipahami, sudah diyakini, dan sudah dianggap penting oleh seluruh anggota organisasi, maka ini kita kuatkan. Ini tahap pertama. Mindset leader-nya juga kami samakan,” papar pria yang selalu mengedepankan quality time dan komunikasi untuk keluarga..
Banyak karyawan yang merasa sudah kerja keras selama ini, lanjut Agung, namun hasil tidak maksimal. Itu karena desain tidak digunakan. Akhirnya yang terjadi adalah kerja keras, bukan kerja cerdas. Oleh karena ini visi dan misi yang mungkin biasanya hanya menjadi pajangan, dievaluasi lagi. Apakah menumbuhkan semangat. Atau malah membuat gelisah. Kalau visi organisasi yang terpampang ketika dibaca tidak menimbulkan semangat, maka itu hanya kalimat visi. Tapi kalau visi itu dibaca menimbulkan semangat, itulah keyakinan atau beliefs. Meskipun kalimatnya hanya sederhana.
Agung mencontohkan, ada sebuah organisasi yang hanya menggunakan kalimat sederhana dalam visinya. Yaitu, ‘bagaimana agar perusahaan menjadi buah bibir positif di masyarakat”. Ternyata, ungkapnya, kalimat sederhana dari visi itu menimbulkan semangat bagi seluruh karyawannya untuk terus menjadikan perusahaan mereka buah bibir positif di masyarakat. Dan setahun kemudian perusahaan itu menjadi perusahaan yang berhasil dan dikenal dengan baik. Para karyawan mampu menjaga kata-katanya, bahkan ekpresi wajahnya.
Jika tadi pertama membuat desain, ujar Agung, kemudian memahami desain atau understanding of design. Biasanya setelah ada visi, misi, nilai dibuat baru, langsung sosialisasi tanpa pemahaman. Akibatnya, anggota organisasi mencoba memahaminya dengan pemahaman yang berbeda-beda. Yang terjadi akhirnya adalah implementasinya juga berbeda-beda. Itulah efek kalau tidak ada understanding of design.
“Nah, baru yang ketiga sosialisasi. Sosialisasi ini bukan hanya untuk dihafal, tapi plus dengan pemahaman. Setelah paham, tujuannya tidak kerja keras, tapi kerja cerdas. Kemudian membangun fondasi, yaitu mengubah bahasa normatif menjadi bahasa implementatif. Masuk ke tahap empat yaitu membangun fondasinya. Dengan cara mengubah bahasa-bahasa normatif ini menjadi bahasa tindakan. Mengimplementasikan di bagian masing-masing akan menghilangkan “like or dislike” . Pada tahapan ini, pekerjaan di masing-masing bagian terlihat dengan jelas. Kemudian yang ke-5 adalah “ikat dengan sistem”. Hal ini dilakukan agar tidak kendor dalam perjalanannya,” katanya menekankan.
Yang keenam barulah memilih orang sudah melakukannya dan etos kerjanya bagus. Untuk apa? Untuk menjadi role model atau menjadi agent of change. Jadi di SCB Consulting, Agent of change itu bukan di urutan kedua, tapi urutan keenam. Sehinga agent of change yang dipilih sudah tepat dan sudah melakukan prestasi dengan baik. Bukan karena dekat dengan pimpinan, tapi sudah berprestasi dan tepat orangnya. Yang ketujuh adalah ekspose. Supaya masuk ke alam bawah sadar. Salah satu bagian yang paling penting dengan expose culture.
Yang terakhir adalah ketika rumah sudah jadi, harus check and recheck. Apakah sudah sesuai kualitasnya, apa yang perlu ditambah, ada yang diperbaiki atau tidak. Kemudian hal ini menjadi bahan pengukuran. Biasanya pengukuran budaya perusahaan dilakukan di awal. Sedangkan SCB melakukannya di akhir. Mengapa demikian? Yang menarik adalah, dulu Agung juga menggunakan cara ini. “Kami coba cari tahu beberapa hal dulu. Ketika kami coba membuat gambaran visi dan misi, ternyata hanya dibaca saja. Kami coba tetap internal factor analysis (IFA) dan external factor analysis (EFA). Setelah kami buat, ternyata tidak menjadi apa-apa. Nah, kami sekarang menggunakan pendekatan psikologi positif dari professor Martin Seligman (University of Pennsylvania’s, Amerika). Jadi fokus pada masa kini dan masa depan. Yaitu kondisi kita sekarang di mana dan mau ke mana kita. Dalam workshop, para karyawan langsung diajak diskusi untuk menentukan arah ke depan,” bebernya.
Analoginya, kata dia, jika menggunakan cara lama, misalnya ada karyawan yang terlambat. Pimpinan akan bertanya kepada karyawan tersebut, mengapa Anda datang terlambat? Namun dengan pendekatan psikologi positif, pimpinan akan mengubah pertanyaan tersebut menjadi, apa yang bisa membuat Anda datang tepat waktu besok? Sehingga Si Karyawan akan fokus untuk menyelesaikan masalahnya. Jadi dalam organisasi, SCB Consulting terapkan kepada klien agar bersama-sama untuk memulai atau start dari awal dan mau apa ke masa depan. Sehingga tidak perlu melihat lagi ke belakang dan mengungkit-ungkit masa lalu. Ini yang membuat semua bersama-sama memulai dari nol dan dapat dilihat siapa yang berprestasi dan siapa yang tidak.
Konsep SCB Consulting memiliki pembeda dibandingkan training budaya organisasi lainnya. Dalam hal ini SCB membantu banyak organisasi untuk fokus pada budaya organisasi dan merealisasikan apa yang mereka anggap penting dalam membuat budaya organisasi yang bagus. Beda juga SCB memiliki tahapan yang jelas dan harus dijalankan oleh klien-klien agar bisa efektif. “Itulah mengapa SCB Consulting memposisikan secara khusus sebagai konsultan budaya organisasi (corporate culture) karena kami fokus. SCB juga sudah mengisi training di Amerika dan di beberapa stasiun televisi,” ujar Agung.
Standar SCB pada setiap organisasi adalah leaders commitment. Ini yang akan menjadikan organisasi berhasil. JIka leader tidak komitmen, lanjutnya, maka akan sulit mencapai keberhasilan membangun budaya organisasinya. Agung juga mempersiapkan kaderisasi dari para trainer atau konsultan SCB untuk bisa memberikan standar yang sama seperti seperti dirinya agar dalam melakukan training memiliki impact yang sama untuk para klien. Hal ini juga menurut Agung karena begitu banyaknya klien yang membutuhkan jasa konsultan mereka baik skala dinas kesehatan dan turunannya hingga pemerintah daerah serta swasta yang jumlahnya sekitar 100 klien. Bahkan menurut pria yang saat ini juga sedang kuliah paska sarjana di jurusan Hukum Islam di Universitas Muhammadiyah Jakarta di Tangerang Selatan.
Agung berpesan bahwa saat ini bukannya era yang besar mengalahkan yang kecil. Tapi yang cepat mengalahkan yang lambat. Yang cepat berubah, yang cepat dalam menciptakan nilai tambah. Orang yang dikenang itu bukan hanya orang yang dikenal baik, tapi juga orang yang hebat. Orang yang punya nilai lebih dari orang lain. Karena hidup itu singkat, maka kita harus berpikir, manfaat apa yang bisa kita berikan kepada orang lain. Sehingga kita juga didoakan oleh orang lain. (ave)
Discussion about this post