Avesiar – Jakarta
Seseorang Muslim mungkin secara sadar dan tidak sadar, pernah menyendiri serta menjauh dari keramaian atau dari lingkungannya. Bisa jadi tujuan menyendiri tersebut adalah untuk mendapatkan ketenangan atau mengurangi terdampak dari keburukan yang terjadi di sekelilingnya.
Di dalam Islam hal dilakukan tersebut disebut sebagai uzlah. Namun, tujuannya lebih kepada mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Membahas tentang uzlah dari berbagai sumber, berikut adalah penjabaran dan apa yang dapat dipahami dari kegiatan ini.
Secara harfiah, uzlah adalah mengasingkan atau menarik diri dari keramaian. Sedangkan khalwat atau infirad artinya menyendiri. Kemudian riyadhah artinya pelatihan spiritual yang biasanya dilakukan di tempat sepi alias jauh dari hiruk-pikuk keramaian orang banyak.
Meskipun tidak sama persis secara makna, istilah-istilah ini mengarah pada tujuan yang sama, yaitu berusaha untuk menjauhkan diri dari berbagai kemaksiatan dan memfokuskannya dengan berbagai amalan ibadah guna lebih dekat dengan Sang Pencipta.
Imam al-Ghazali menjelaskan beberapa manfaat uzlah atau menyendiri atau mengasingkan diri antara lain:
Tujuan paling penting adalah menetralisir permasalahan dunia serta menjauhi maksiat, yaitu beruzlah atau kholwat, atau mengasingkan diri untuk memperbanyak ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sehingga mendapatkan manfaat yaitu,
1. Dapat khusyuk dalam beribadah
Orang yang uzlah, ia akan mendapatkan kekhusyukan dalam beribadah, karena hati dan pikirannya hanya difokuskan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
2. Dapat merasakan nikmat ibadah
Agar dapat merasakan kenikmatan ibadah ini, sebelum uzlah seorang salik harus mampu mengukur kemampuan diri. Uzlah membutuhkan kemapanan lahir-batin. Misalnya seorang pekerja profesional dan sudah berkeluarga, ia harus sudah menyelesaikan pekerjaannya dan mendapatkan izin dari tempatnya bekerja serta sudah memenuhi kebutuhan keluarga saat hendak ditinggal uzlah.
3. Selamat dari kemaksiatan yang berpotensi muncul ketika bergaul dengan banyak orang seperti fitnah dan permusuhan
Uzlah bermanfaat bagi seseorang yang tinggal di dalam lingkungan yang berkarakter buruk. Uzlah adalah solusi agar terhindar dari pemikiran yang tidak perlu.
Uzlah pada saat kondisi seperti itu tidak harus uzlah fisik, namun uzlah berdiam diri jangan sampai tergoda merespon informasi yang kurang jelas dan dapat menimbulkan perseteruan.
4. Selamat dari koneksi dengan manusia yang berkarakter buruk
Jiwa manusia dapat saling mempengaruhi. Jika ia tidak memiliki prinsip yang kuat, maka ia akan mudah terbawa oleh orang lain. Saat berada di lingkup pertemanan yang buruk, biasanya ia akan mengalami satu fase berikut: ghibah/bergosip, kemudian su’uzan/mencurigai, kemudian ikut nyinyir dengan kebaikan orang lain.
Lalu, ia ikut memprovokasi dan bicara bohong, sehingga timbullah adu domba, sampai menjelekkan apa yang dilakukan orang lain karena ketidakpahaman diri. Akibatnya, timbullah permusuhan.
Timbulnya fase tersebut disebabkan oleh frekuensi ruhani seseorang berbeda. Maka dianjurkan untuk menjaga jarak lingkar pertemanan dengan orang yang kapasitas intelektual dan spiritual senjang dengan diri kita.
Sebab kesenjangan ini dapat menimbulkan salah paham dan meruntuhkan keyakinan kita terhadap sesuatu yang dilakukan, padahal ia sudah dijalur yang benar.
5. Terputus dari rasa tamak (berharap sesuatu dari makhluk)
Jika salik atau orang membersihkan dan memurnikan jiwanya berharap kepada manusia, ia juga harus berani menanggung kekecewaan. Karena bagi seorang salik, Yang Maha Memberi adalah Allah Yang Maha Kaya.
6. Selamat bergaul dari orang bodoh dan keras hatinya
Jenis orang seperti ini hobinya adalah mencaci orang lain dan saat melakukannya ia tidak merasa menyakiti orang lain. Sering bergaul dengan mereka menyebabkan kita terbawa mengucapkan kata-kata mereka.
Walau praktik yang sedikit berbeda, tradisi ‘uzlah atau menarik diri sejatinya sudah ada sejak zaman para nabi terdahulu, terutama yang dikisahkan Al-Qur’an seperti uzlah-nya Nabi Ibrahim, Ashabul Kahfi, atau Nabi Musa ‘alaihis salam.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an, surah Maryam, ayat 48:
“Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku.” (Surah Maryam ayat 48).
Para ulama tafsir menjelaskan, ketika kaumnya terus menolak dan merendahkannya, bahkan terang-terangan menyembah berhala, Al-Khalil Nabi Ibrahim ‘alaihis salam kemudian beruzlah dan menarik diri.
Allah pun memelihara nabi-Nya dari kejahatan mereka, dan membalasanya dengan balasan yang besar, serta menganugerahinya dengan karunia turunan yang saleh.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an, surah Maryam, ayat 49:
“Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak, dan Ya’qub. Dan masing-masingnya Kami angkat menjadi nabi.” (Surah Maryam ayat 49).
Tradisi ‘uzlah berikutnya dilakukan oleh sejumlah laki-laki yang dikenal dengan Ash-habul Kahfi. Kisah ‘uzlah mereka diabadikan di dalam Al-Qur’an agar menjadi pelajaran bagi umat-umat berikutnya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an, surah Al Kahfi, ayat 16:
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (Surat Al-Kahfi ayat 16).
Riwayat meyebutkan, mereka tidak menyukai tingkah laku para pelaku kebatilan. Oleh karenanya, mereka berlari dari fitnah kekufuran dan kemusyrikan, di mana berhala-berhala yang tidak berdaya disembah dan dipertuhan.
Kemudian, Allah memalingkan dan menolak kezaliman yang akan menimpa mereka, serta mengabadikan kisah mereka di tengah orang-orang saleh.
Menurut Syekh Abu Sulaiman Al-Khattabi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga pernah mengasingkan diri dari kaum Quraisy ketika penyiksaan dan penentangan dari mereka sudah mencapai puncaknya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam lantas memerintahkan para sahabatnya untuk meninggalkan Makkah dan berhijrah ke tanah Habasyah, kemudian ke Madinah. Di Madinah, Allah meninggikan dan menolong agama-Nya.
Tak hanya itu, aktivitas ‘uzlah juga pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di Gua Hira. Hal itu dilakukan selama beberapa malam hingga turun wahyu pertama. (Lihat Al-Khathabi, Al-‘Uzlah: halaman 8).
Jadi, ‘uzlah saat merebak fitnah merupakan tradisi para nabi, para wali, dan orang-orang saleh terdahulu. Namun, tradisi ini tak selamanya mereka lakukan. Ada saat di mana mereka kembali lagi ke keramaiaan dan memperbaiki kondisi sosial (umat).
Banyak ulama yang menyebutkan keutamaannya. Sayyidina ‘Umar bin Khattab, di antaranya, mengemukakan, “Ambillah ‘uzlah sebagai bagian kalian!”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Sebaik-baik manusia ketika berhadapan dengan hal yang merusak (fitnah) adalah orang yang memegang tali kekang kudanya menghadapi musuh-musuh Allah. Ia menakuti-nakuti mereka, dan mereka pun menakut-nakutinya. Atau seseorang yang mengasingkan diri ke lereng-lereng gunung, demi menunaikan apa yang menjadi hak Allah.” (HR. Al-Hakim, 4: 446. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 698).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: ‘siapakah manusia yang paling utama wahai Rasulullah?’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: ‘Orang yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lelaki tadi bertanya lagi: ‘lalu siapa?’. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: ‘Lalu orang yang mengasingkan diri di lembah-lembah demi untuk menyembah Rabb-nya dan menjauhkan diri dari kebobrokan masyarakat’” (HR. Al Bukhari 7087, Muslim 143).
Dengan demikian, uzlah menjadi sebuah kegiatan yang perlu dilakukan di saat seorang Muslim berusaha untuk melakukan instrospeksi diri atas ibadahnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan juga menjaga dirinya dari keburukan yang sedang terjadi. Wallahua’lam. (dwi/dari berbagai sumber)
Discussion about this post