Avesiar – Jakarta
Salah satu dari rangkaian ibadah Haji adalah sai, yaitu berjalan antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Ritual dalam ibadah ini mengikuti jejak Siti Hajar dalam mencari air bagi putranya, Nabi Ismail Alaihis Salam.
Sebagai ibadah yang penting saat berada di Makkah, jemaah Haji harus melakukan salah satu rukun Haji tersebut agar Hajinya dianggap sah. Mengenai hal ini, dikutip dari laman Nahdlatul Ulama, Senin (12/6/2023), disebutkan bahwa Syekh Al-Imam Taqiyuddin Abu ad-Dimasyi asy-Syafi’i dalam kitab Kifāyatul akhyār fī Jalli Ghāyatil Ikhtishār menjelaskan:
“Dan rukun Haji ada lima perkara: ihram, niat, wukuf di padang Arafah, tawaf di Ka’bah, dan sai antara Shafa dan Marwah.”
Sai memang harus dilakukan dengan berjalan kaki antara Shafa dan Marwah. Bagi seseorang yang mengalami keterbatasan fisik, terdapat situasi di mana mereka menggunakan kursi roda atau skuter untuk bisa melaksanakannya.
Dalam hal kondisi semacam ini, diperlukan pemahaman tentang hukum fikih melakukan sai dengan alat-alat tersebut.
Prinsip utama yang ditegaskan dalam Islam adalah bahwa tujuan ibadah adalah untuk memperkuat hubungan manusia dengan Allah dan mengabdikan diri kepada-Nya dengan cara yang terbaik sesuai dengan kemampuan individu.
Sedangkan bagi mereka yang mengalami keterbatasan fisik, syariat Islam memberikan fleksibilitas dalam melaksanakan ibadah.
Sai dengan menggunakan kursi roda, atau skuter, telah dibahas oleh ulama fikih sejak dahulu kala. Ulama menjelaskan hukum sai dengan menggunakan kendaraan atau tunggangan seperti unta.
Penentuan hukum sai dengan kendaraan, ulama membagi pada dua hal. Pertama, hukum naik sai naik kendaraan dengan adanya uzur, misalnya karena sedang sakit, lansia, atau penyandang disabilitas. Kedua, hukum sai dengan kendaraan tanpa adanya uzur (sengaja).
Para ulama, jika diteliti dalam banyak kitab fikih, sepakat sai dan tawaf dilaksanakan dengan cara berjalan kali. Sebab, berjalan kaki lebih afdhal dibandingkan menggunakan kendaraan atau tunggangan. Namun, para ulama berbeda pendapat menyikapi sai menggunakan kendaraan bagi seseorang jika tidak ada uzur.
Mazhab Hanafiyah menyebutkan, bagi orang yang sai dengan tunggangan tanpa uzur maka diwajibkan mengulanginya dan membayar dam. Abdurrahman Al Jaziri menjelaskan dalam kitab al-Fiqhu ala Mazahibul Arbaah:
“Dan syarat wajib sai juga ialah berjalan kaki. Jikalau seorang melaksanakan sai dengan berkendaraan tanpa ada uzur, maka wajib ia mengulanginya, atau membayar denda, dan juga syarat sai ialah memulai sai dari Shafa kemudian mengakhirkan sampai Marwah.”
Menurut Mazhab Maliki, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Qarafi dalam kitab Az-Zakhirah, jika seorang jemaah Haji melaksanakan sai dengan berkendara, tanpa ada uzur maka dikenakan denda. Dikatakan:
“Dan menurut mereka, jika seseorang meninggalkan berjalan kaki pada saat sai, dan ia menunggangi kendaraan maka wajib atasnya denda. “
Sedangkan mazhab Syafi’I menyebutkan, orang yang berkendara saat sai, tanpa ada uzur, maka salah satu rukun Haji itu tetap sah, dan tidak dikenakan bayar dam. Penjelasan ini dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin:
“Telah sepakat ulama Syafi’iyah bahwa sai dengan menggunakan kendaraan tidak makruh hukumnya, akan tetapi menyalahi keutamaan sai (seyogianya berjalan kaki).”
Mengenai Hukum Sai Menggunakan Kursi Roda atau Skuter
Mayoritas ulama sepakat bahwa melakukan ibadah sai dengan kursi roda atau skuter diperbolehkan dan sah. Hal ini jika jemaah yang bersangkutan memiliki keterbatasan fisik yang membuatnya tidak mampu berjalan kaki. Hal ini didasarkan pada prinsip syariat yang mengutamakan kemudahan dalam ibadah bagi mereka yang berada dalam keadaan sulit atau cacat.
Jadi, sebagaimana dikutip dari laman Nahdlatul Ulama, sai dengan menggunakan kursi roda bagi lansia termasuk dalam kategori sai dengan tunggangan dengan adanya uzur, yakni ketidakmampuan untuk berjalan.
Jarak tempuh sai dengan berjalan antara Shafa dan Marwah, satu kali tempuh mencapai 400 meter. Jika ditotal 7 kali, perjalanan ditempuh dalam jarak waktu sekitar 3 kilometer. Tentu jaraknya cukup jauh dan menyulitkan bagi seorang lansia.
Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni menjelaskan sebagai berikut:
“Barang siapa yang melaksanakan sai dengan dipikul atau kendaraan dikarenakan adanya sebab, maka tawafnya sah. Tidak ada perbedaan pendapat terkait sahnya tawaf (sai) dengan menggunakan kendaraan jika ada uzur.”
Berdasarkan rujukan-rujukan tersebut, hukum fikih tentang melakukan sai dengan kursi roda atau skuter memperbolehkan untuk memudahkan individu yang mengalami keterbatasan fisik sesuai prinsip Islam.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Islam, tinggal di Ciputat.
(adm)
Discussion about this post