Avesiar – Jakarta
Zaman wawancara pakai block note, saat narasumber ngomong, kami akan secepat kilat ambil poin-poin inti dari ulasan yang layak jadi berita. Kami tidak mengindahkan kalimat-kalimat yang tidak perlu. Cukup meringkas, lalu dengan sedikit improvisasi kalimat yang seakan pas dengan karakter si narasumber, kami untai kalimat bijak.
Meskipun sebenarnya saat sedang membaca tulisan di block note itu sendiri, sering kami lupa apa yang tertulis. Akibat terlalu cepat, sehingga entah apa tulisan terpampang di atas lembaran buku catatan kecil itu.
Huruf “a” bisa terlihat seperti “o”, apalagi istilah bahasa Inggris. Alamakkk.. Dokter bukan, tulisan ngalah-ngalahi profesi mulia itu. Kami sangat jago urusan ini, berharap tidak ada yang luput atau salah, dan narasumber pun tidak ingat sepenuhnya apa yang sudah dia katakan.
Yang penting, dia ingat pokok ulasan. Sisanya, asal nggak parah-parah amat, masih aman lah. Zaman itu, narasumber belum aware rekam-merekam pernyataannya sendiri.
Namun, kami juga tidak bisa sembarangan. Harus tetap pada koridor penulisan yang fair dan berimbang. Dengan cara begitu (menulis di block note, red), proses menulis berita lebih cepat. Paling tidak, ulasan mendalam atau wawancara yang butuh data lebih banyak, bisa lebih cepat terselesaikan.
Di jaman yang maunya “santai di depan, ‘bonyok’ belakangan” ini, menggunakan voice recorder alias perekam suara sering disengajakan.
Bukan tidak bisa dihindarkan lho. Malah disengajakan, direncanakan. “Ah, nanti tinggal pakai voice recorder saja”. Baik alat recorder khusus, maupun voice recorder yang ada di ponsel.
Mirisnya, ketika data dari ulasan mendalam atau wawancara khusus itu ada tambahan ngalor-ngidulnya, proses menulis menjadi njelimet, ngabisin waktu.
Bukan saat menyusun kalimat dari data-data yang ada, tapi proses transkripnya. Makan waktu, kadang harus diulang (rewind), itu barusan kalimat apa, ejaannya seperti apa. Karena bisa jadi suara lirih, atau ada noise dari sekeliling.
Ini yang disebut “santai di depan, ‘bonyok’ belakangan”. Isi rekaman wawancara khusus misalnya 30 menit atau 1 jam (termasuk ngalor ngidul), proses transkripnya bisa jam berjam-jam.
Kenapa? Karena sudah menjadi sebuah rekaman, maka kadang naluri tidak tegaan main ‘hajar” atau “potong kompas’ dari isi asli rekaman tersebut. Alhasil, harus pelan-pelan, takut salah. Takut si narasumber juga merekam wawancara dirinya itu.
Awal wawancara memang begitu santai, tinggal duduk manis, sodorkan voice recorder atau ponsel yang sudah “on” voice recorder-nya, lalu bertanyalah sesuka hati sesuai konteks isu yang dimau. Nggak perlu pakai catat sana sini, atau pegang pulpen sampai tangan pegal dan leher tegang, bolak-balikin block note ganti halaman. Nggak perlu.
Risiko proses transkrip rekaman suara yang bakal jadi sebuah ‘teror’ deadline seakan belakangan. Apalagi kalau harus buru-buru diterbitkan. Ini dia, buat yang nggak kuat-kuat iman, kuatir malah pakai gaya block note yang main ‘improvisasi’ meskipun sudah pakai voice recorder.
Bagi yang tekun alias berintegritas namun ‘tersiksa’, bakal mencatat data dari menit ke menit sampai tuntas.. tass.. Dan itu artinya, “Jangan Ganggu, Gue Lagi Ribet”. (ave)
Discussion about this post