Avesiar – Jakarta
PADA tiap edisi Hari Raya Idul Fitri masyarakat yang tinggal di perkotaan melakukan ‘ritual’ mudik ke kampung kelahiran. Pada tahun ini para pemudik diprediksi mencapai 16 juta jiwa, baik yang menggunakan alat transportasi udara, darat, maupun laut.
Dalam ‘ritual’ satu ini instansi pemerintahan seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Polri bekerja siang-malam demi menyukseskan hajatan tahunan terbesar itu. Beragam cara dan aturan dibuat demi menunjang kelancaran dan keselamatan para pemudik.
Demikian halnya dalam berhari raya, penting sekali bagi kita mengenal ‘rambu-rambu’ yang mengatur bagaimana kita mengisi hari raya dengan hal-hal islami demi ‘menunjang keselamatan dan kelancaran’ dalam berhari raya. Agar kesucian yang Allah berikan kepada kita bisa terjaga kelangsungannya.
Rambu-rambu pertama adalah tetap dalam kesederhanaan. Kita sah-sah saja membeli dan mengenakan baju baru, kemeja, baju koko, sarung, abaya bagi muslimah, yang baru. Boleh-boleh saja kita membuat kue atau masakan untuk dimakan oleh anggota keluarga maupun sebagai sajian hidangan buat para tamu. Akan tetapi, semua hal di atas tetap kita lakukan dengan kesederhanaan dan jangan malah menjadi ajang saling bermegah-megahan, bermewah-mewahan, dan bersikap boros.
Ramadhan yang tidak lama lagi kita tinggalkan mengajarkan pengendalian hawa nafsu dari perkara-perkara yang tidak sepatutnya, termasuk mengendalikan diri dari mengikuti keinginan tanpa didasari kebutuhan yang mendesak. Dalam Al-Qur`an dengan tegas Allah melarang bersikap boros.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“…dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra` [17] : 26-27).
Begitu pula dalam soal makan dan minum, ada ‘rambu-rambu’ untuk mencegah terjadinya ‘kecelakaan’ pada fisik kita. Pada intinya, kita bisa makan dan minum sesuai kebutuhan kita, tapi sekali lagi, tidak berlebih-lebihan. Makan saat betul-betul lapar dan berhenti sebelum kenyang, demikian yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
“Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A`raaf [07] : 31).
Cara berhari raya Idul Fitri secara Islami yang kedua adalah mempererat tali silaturrahim dan persaudaraan sesama umat Islam. Dalam Islam persaudaran tidak mengenal batas-batas territorial, suku, ras, dan warna kulit. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam membuat perumpaan persaudaraan dengan indah. Baginda menggambarkan bahwa persaudaraan di antara sesama umat Islam laksana sebuah bangunan yang saling menguatkan.
Di sisi lain, ada satu hal yang telah mendarah daging padahal salah tapi dipandang lumrah belaka, yaitu bersalam-salaman dengan laki atau wanita yang tidak satu mahram. Dengan alasan sudah jadi tradisi dan kebiasaan turun-temurun, seorang laki-laki menyalami wanita atau sebaliknya ditambah dengan cipika-cipiki. Hal demikian jelas bertentangan dengan ‘rambu-rambu’ berhari raya yang Islami. (ave/dikutip dari hidayatullah. com)
Discussion about this post