Avesiar – Jakarta
Pidato Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang disampaikan pada hari Jumat (22/9/2023) di PBB mendapat kecaman dari Palestina karena dianggap sebagai ujaran “kebencian”.
Ketika berpidato di Majelis Umum PBB di New York, sebagaimana dilansir The New Arab, Sabtu (23/9/2023), Netanyahu mengatakan Israel berada di titik puncak normalisasi hubungan dengan Arab Saudi dan bahwa Palestina tidak boleh memveto tindakan tersebut.
Ia juga menampilkan dua peta yang menunjukkan wilayah pendudukan Palestina yaitu Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza, sebagai bagian dari Israel.
“Negara Palestina menolak dengan tegas pidato provokatif dan penuh kebencian yang disampaikan oleh perdana menteri Israel,” kata Kementerian Luar Negeri Palestina di X, yang sebelumnya bernama Twitter, dilansir The New Arab.
Ditambahkannya, dari podium PBB, perdana menteri Israel menegaskan, sekali lagi, rancangan kolonial pemerintahannya dan tujuan pendudukan ilegal Israel: aneksasi paksa dan kekerasan atas tanah air Palestina dan penyangkalan terhadap kehadiran dan hak-hak warga Palestina, termasuk hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dan kembali.
“Masyarakat internasional harus dengan tegas menolak dan mengutuk fitnah rasis yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina dan penyangkalan keras mereka terhadap asal usul mereka, sebuah kehadiran masyarakat adat yang sudah berabad-abad lamanya dan telah dibuktikan oleh sejarah,” tulis Kementerian Luar Negeri Palestina di X.
Salah satu peta yang digunakan oleh Netanyahu diklaim menunjukkan Israel pada tahun 1948, tahun ketika negara itu diciptakan bersamaan dengan kampanye pembersihan etnis berdarah yang menyebabkan lebih dari 700.000 warga Palestina diusir dari rumah mereka.
“Inilah Israel pada tahun 1948. Ini adalah negara kecil, terisolasi, dikelilingi oleh dunia Arab yang bermusuhan,” katanya.
“Dalam 70 tahun pertama, kami berdamai dengan Mesir dan Yordania, dan kemudian pada tahun 2020 kami membuat Perjanjian Abraham – berdamai dengan empat negara Arab lainnya.
“Sekarang lihat apa yang terjadi jika kita berdamai antara Arab Saudi dan Israel.”
Netanyahu kemudian membalik peta pertama untuk menampilkan peta baru, dengan mengatakan: “Seluruh Timur Tengah berubah. Kami merobohkan tembok permusuhan.”
Peta kedua diberi judul “Timur Tengah Baru”. Wilayah Palestina yang diduduki kembali ditampilkan sebagai bagian dari Israel. Namun kali ini negara-negara Arab yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel, termasuk Mesir dan UEA, diberi warna hijau.
Begitu pula dengan Arab Saudi, yang saat ini sedang melakukan pembicaraan mengenai normalisasi hubungan.
Perjanjian Israel dengan Mesir pada tahun 1979 dan perjanjian dengan Yordania pada tahun 1994 secara luas dipandang sebagai perjanjian perdamaian.
Namun, baik Arab Saudi maupun negara-negara Arab mana pun yang setuju untuk menormalisasi hubungan pada tahun 2020 tidak berpartisipasi dalam perang dengan Israel selama beberapa dekade.
Meskipun Sudan setuju pada tahun 2020 untuk melakukan normalisasi dengan Israel, hanya sedikit kemajuan yang dicapai dalam memajukan hubungan antara kedua negara.
Warga Palestina memandang normalisasi sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan nasional mereka.
The Institute for Middle East Understanding (Institut Pemahaman Timur Tengah) mengatakan peta “Timur Tengah Baru” Netanyahu adalah peta di mana “Israel telah mencuri setiap inci tanah Palestina”.
“Dia sangat jelas: masa depan yang sedang diupayakan Israel adalah masa di mana Palestina telah sepenuhnya terhapus dari peta,” tulis organisasi nirlaba tersebut di X.
Netanyahu mengatakan “perdamaian bersejarah” dengan Arab Saudi “akan sangat membantu dalam mengakhiri konflik Arab-Israel” dan akan mendorong negara-negara Arab lainnya untuk mengatur hubungan dengan Israel.
Dia dengan tegas menolak desakan pemimpin Palestina Mahmoud Abbas, dalam pidatonya di PBB pada hari Kamis, bahwa tidak akan ada perdamaian di Timur Tengah tanpa negara Palestina.
“Kita tidak boleh memberikan hak veto kepada Palestina atas perjanjian perdamaian baru dengan negara-negara Arab,” kata Netanyahu.
“Rakyat Palestina bisa mendapatkan keuntungan besar dari perdamaian yang lebih luas. Mereka harus menjadi bagian dari proses tersebut. Namun mereka tidak boleh memiliki hak veto atas proses tersebut.” (ard)
Discussion about this post