Avesiar – Opini
Oleh: Syahiduz Zaman, Dosen Teknik Informatika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Keputusan Berbasis AI: Mempertanyakan Otonomi Manusia dalam Era Teknologi Maju
Pertanyaan filosofis yang diajukan menyoroti perdebatan mengenai hubungan antara manusia dan teknologi, terutama mengenai otonomi dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) adalah “Jika komputer menjadi andal sedemikian rupa sehingga kita dengan rela menyerahkan pertimbangan dan keputusan kita pada komputer, apakah ini berarti otonomi kita berkurang?”
Berikut adalah tinjauan mendalam tentang masalah ini, yang melibatkan beberapa sudut pandang, data pendukung, pendapat ahli, dan teori filosofis.
Kecerdasan buatan (AI) telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, mencapai prestasi yang sebelumnya dianggap mustahil. Sistem AI seperti DeepMind’s AlphaGo dan OpenAI’s GPT-3 telah membuktikan kemampuan mereka untuk mengalahkan manusia dalam berbagai tugas dan disiplin, mulai dari permainan Go hingga pemecahan masalah kompleks. Hal ini telah menyebabkan perdebatan tentang implikasi moral, etis, dan filosofis dari peningkatan kecerdasan buatan.
Sebagai titik awal, kita bisa merujuk pada teori-teori filsafat yang berbicara tentang otonomi, seperti Immanuel Kant. Kant berpendapat bahwa otonomi adalah kemampuan individu untuk membuat keputusan berdasarkan akal dan prinsip moral, tanpa dipengaruhi oleh keinginan atau paksaan eksternal.
Menurut pandangan ini, penyerahan keputusan kita kepada komputer yang andal dapat mengurangi otonomi kita, karena kita tidak lagi menggunakan akal dan prinsip moral kita sendiri untuk membuat keputusan.
Namun, ada argumen yang menyatakan bahwa AI dapat menjadi alat yang membantu kita dalam menjalankan otonomi kita. Ahli filosofi Daniel Dennett mengatakan bahwa alat-alat seperti AI dapat menjadi perpanjangan kemampuan kognitif manusia, yang memungkinkan kita untuk membuat keputusan yang lebih baik dan lebih efisien. Dalam hal ini, AI bukanlah ancaman bagi otonomi kita, tetapi sebaliknya, menjadi pendukung otonomi kita.
Pandangan yang lebih moderat muncul dari teori-teori seperti “Extended Mind” yang dikemukakan oleh Andy Clark dan David Chalmers. Mereka berpendapat bahwa lingkungan kita, termasuk teknologi seperti AI, adalah bagian dari proses kognitif kita. Dalam pandangan ini, penyerahan keputusan kita kepada AI bukanlah pengurangan otonomi, tetapi hanya perubahan cara kita memanfaatkan informasi dan sumber daya yang ada.
Untuk menjawab pertanyaan ini secara menyeluruh, kita perlu mempertimbangkan data dan bukti empiris yang ada. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa AI dapat meningkatkan kemampuan manusia untuk membuat keputusan, terutama dalam situasi di mana informasi yang tersedia sangat kompleks atau jumlahnya sangat besar.
Misalnya, AI telah digunakan dalam bidang kedokteran untuk membantu dokter mendiagnosis penyakit dan merancang perawatan yang lebih efektif.
Namun, ada juga risiko yang melekat dalam penyerahan keputusan kepada AI. Salah satu contohnya adalah risiko bias algoritma, di mana AI menggabungkan dan memperkuat prasangka dan stereotip yang ada dalam data yang digunakan untuk melatih mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh ProPublica pada tahun 2016 menemukan bahwa sistem kecerdasan buatan yang digunakan untuk memprediksi risiko residivisme kriminal memiliki bias rasial yang signifikan, yang mengarah pada hasil yang tidak adil bagi kelompok-kelompok tertentu.
Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan bahwa AI yang kita gunakan untuk membuat keputusan adil, akurat, dan bebas dari bias.
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa otonomi manusia tidak hanya terkait dengan proses pengambilan keputusan, tetapi juga dengan pertanggungjawaban atas tindakan yang diambil. Dalam konteks penyerahan keputusan kepada AI, pertanyaan tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas konsekuensi dari keputusan tersebut menjadi semakin relevan.
Sebagai contoh, dalam kasus kecelakaan yang melibatkan kendaraan otonom, hukum dan etika perlu menentukan apakah tanggung jawab jatuh pada pengemudi, produsen, atau sistem AI itu sendiri.
Pendapat ahli juga penting dalam membahas pertanyaan ini. Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX, telah menyuarakan keprihatinannya tentang AI yang menggantikan manusia dalam banyak aspek kehidupan. Ia mengadvokasi regulasi yang ketat untuk memastikan penggunaan yang aman dan etis dari AI.
Di sisi lain, ahli seperti Ray Kurzweil percaya bahwa AI akan membawa manfaat luar biasa bagi manusia, termasuk memperpanjang umur dan meningkatkan kualitas hidup.
Dalam konteks ini, pertanyaan tentang apakah otonomi kita berkurang dengan menyerahkan pertimbangan dan keputusan kita pada komputer sangat bergantung pada bagaimana kita mendefinisikan dan menjalankan otonomi itu sendiri. Jika kita melihat AI sebagai ancaman bagi otonomi manusia, maka kita mungkin akan melihat penyerahan keputusan sebagai pengurangan otonomi. Namun, jika kita melihat AI sebagai alat yang dapat membantu kita dalam mengambil keputusan yang lebih baik dan lebih efisien, maka penyerahan keputusan mungkin dianggap sebagai perpanjangan otonomi kita.
Kesimpulan
Pertanyaan tentang apakah otonomi kita berkurang dengan menyerahkan pertimbangan dan keputusan kita pada komputer merupakan topik yang kompleks dan multifaset. Teori filosofis, data pendukung, dan pendapat ahli menunjukkan bahwa jawaban atas pertanyaan ini tergantung pada bagaimana kita memandang peran AI dalam kehidupan kita dan bagaimana kita mendefinisikan otonomi.
Untuk memastikan bahwa kita mempertahankan otonomi kita, penting untuk mengembangkan AI yang adil, akurat, dan bebas dari bias, serta menjaga keseimbangan antara keuntungan yang diperoleh dari AI serta tanggung jawab kita sebagai individu dan anggota masyarakat. (*)
Discussion about this post