Avesiar – Jakarta
Produk minuman berlabel Nabidz yang akhir-akhir ini menjadi polemik di masyarakat karena disinyalir bermasalah dari sisi kehalalannya, mendapat respon dari Majelis Ulama Indonesia.
Berdasarkan temuan, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh menegaskan bahwa tiga laboratorium kredibel yang melaporkan kepada Komisi Fatwa MUI menyatakan kadar alkohol Nabidz tinggi melampaui standard halal
“Komisi Fatwa telah mendapatkan informasi dari tiga uji laboratorium berbeda yang kredibel terkait dengan produk Nabidz, dari ketiga hasil uji lab tersebut diketahui bahwa kadar alkohol pada produk Nabidz cukup tinggi, maka haram dikonsumsi muslim, ” ungkap Kiai Niam, dikutip dari laman Majelis Indonesia, Kamis (24/8/2023).
Diungkapkannya, temuan tiga laboratorium itu menunjukkan bahwa proses pemberian sertifikasi halal kepada Nabidz tersebut bermasalah.
“Sesuai pedoman dan standar halal yang dimiliki MUI. MUI tidak menetapkan kehalalan produk yang menggunakan nama yang terasosiasi dengan yang haram. Hal ini termasuk dalam hal rasa, aroma, dan kemasan seperti wine. Apalagi jika prosesnya melibatkan fermentasi anggur dengan ragi, persis seperti pembuatan wine,” tegas Kiai Niam.
Komisi Fatwa tidak pernah memberikan sertifikasi halal pada produk Nabidz karena menyalahi standard halal MUI. Sehingga MUI tidak bertanggung jawab soal terbitnya sertifikasi halal Nabidz ini.
Kiai Niam menjelaskan, Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standardisasi Halal menyebutkan empat kriteria penggunaan nama dan bahan. Empat kriteria tersebut yakni:
Tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan nama dan atau simbol-simbol makanan dan atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.
Tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan nama dan atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada nama-nama benda/binatang yang diharamkan terutama babi dan khamr, kecuali yang telah mentradisi (‘urf) dan dipastikan tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan seperti nama bakso, bakmi, bakwan, bakpia, dan bakpao.
Tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan bahan campuran bagi komponen makanan/minuman yang menimbulkan rasa/aroma (flavour) benda-benda atau binatang yang diharamkan, seperti mie instan rasa babi, bacon flavour dan lain-lain.
Tidak boleh mengkonsumsi makanan/minuman yang menggunakan nama-nama makanan/minuman yang diharamkan seperti whisky, brandy, beer dan lain-lain.
Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman yang mengandung Alkohol/Etanol, lanjut Kiai Niam, menyebutkan bahwa minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah minuman yang mengandung alkohol/etanol (C2H5OH) minuman 0.5 persen.
“Melihat dari dua fatwa tersebut, berarti ada persyaratan yang tidak terpenuhi pada produk Nabidz. Pertama, terkait dengan bentuk kemasan dan sensori produk. Kedua, produk minuman telah melalui serangkaian proses sehingga diperlukan uji etanol. Oleh karenanya, produk seperti ini seharusnya tidak bisa disertifikasi melalui jalur self declare,” jelas kiai Niam.
Kiai Niam juga mengimbau kepada umat Islam agar tidak mengkonsumsi produk-produk yang mengandung alkohol. Karena setiap yang mengandung alkohol disebut haram untuk dikonsumsi. (put)
Discussion about this post