Avesiar – Jakarta
Banyak orang bilang bahwa tetangga adalah keluarga terdekat. Hal ini karena orang yang paling dekat jaraknya tinggal dengan keluarga inti kita adalah para tetangga. Islam mengajarkan bagaimana berhubungan dan berbuat baik kepada tetangga.
Dalam tulisan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH Abdul Muiz Ali yang dikutip dari laman Majelis Ulama Indonesia berjudul “Relevansi Silaturahim Online atau Offline dan Etika Bertetangga Kita”, dipaparkan bagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an tentang berbuat baik kepada tetangga dan demikian pula Rasul-Nya Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam melalui hadits-haditsnya.
Tetangga dalam Islam
Perintah kewajiban berbuat baik kepada tetangga dalam Al Qur’an disebut secara berurutan dengan perintah menyembah Allah dan larangan untuk menyekutukan-Nya. Ini artinya, dapat dipahami bahwa kewajiban berbuat baik kepada tetangga memiliki tempat dan perhatian yang tinggi dalam syariat Islam.
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS An-Nisa ayat 36).
Dalam ayat di atas, selain mengandung muatan teologis, ada juga muatan perintah ibadah sosial baik secara khusus, seperti berbuat baik kepada kedua orang tua, atau secara umum seperti menunjukkan kepedulian sesama manusia, termasuk kepada tetangga.
Berperilaku baik kepada sahabat dan tetangga saat hidup di dunia menjadi salah satu parameter tingkat kebaikan seseorang di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di akhirat.
“Sebaik-baik teman di sisi Allah ialah yang paling baik terhadap temannya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang paling baik terhadap tetangganya.” (HR Ahmad).
Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wa sallam memberikan ultimatum konsekuensi terburuk bagi mereka yang menyakiti tetangganya.
“Demi Allah, tidak sempurna imannya, demi Allah tidak sempurna imannya, demi Allah tidak sempurna imannya.” Rasulullah SAW ditanya, “Siapa yang tidak sempurna imannya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang tetangganya tidak merasa aman atas kejahatannya.” (HR al-Bukhari).
Dalam satu riwayat, malaikat Jibril sering mendatangi Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wa sallam guna memberi wasiat tentang tetangga.
“Jibril senantiasa berpesan kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai aku mengira, tetangga akan ditetapkan menjadi ahli warisnya.” (HR Bukhari).
Dalam Islam, ada ragam pendapat tentang batasan tetangga. Ada yang menyebut bahwa tetangga adalah orang yang rumahnya saling berdekatan. Baik tetangga tersebut seiman atau tidak. Sebagian ulama mengatakan, bahwa batasan dalam tetangga itu dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat setempat (‘urf).
Sementara, banyak ulama berpendapat bahwa batasan tetangga adalah semua orang yang menempati 40 rumah dari semua penjuru arah rumah kita, baik arah barat, utara, timur, maupun selatan:
“Tetangga itu, sebagaimana penjelasan Imam Syafi’i, adalah 40 rumah dari semua arah.” (Mughni al-Muhtâj: 4/95).
Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Auza’i juga memiliki pandangan yang sama dengan Imam Syafi’i.
Etika dalam bertetangga
Secara umum hak dan kewajiban bertetangga sama dengan hak dan kewajiban yang harus ditunjukkan kepada sesama orang Muslim.
“Hak seorang muslim terhadap sesama muslim itu ada enam: Jika kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam, jika ia mengundangmu maka penuhilah undangannya, jika ia meminta nasihat kepadamu maka berilah ia nasihat, jika ia bersin dan mengucapkan ‘Alhamdulillâh’ maka doakanlah ia dengan ‘Yarhamukallâh’, jika ia sakit maka jenguklah dan jika ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya.” (HR. Muslim).
Imam Al-Ghazali secara detail menjelaskan tentang adab atau etika bertetangga dalam kehidupan sehari-hari.
“Adab bertetangga (yaitu) mendahului berucap salam, tidak lama-lama berbicara, tidak banyak bertanya, menjenguk yang sakit, berbela sungkawa kepada yang tertimpa musibah, ikut bergembira atas kegembiraannya, berbicara dengan lembut kepada anak tetangga dan pembantunya, memaafkan kesalahan ucap, menegur secara halus ketika berbuat kesalahan, menundukkan mata dari memandang istrinya, memberikan pertolongan ketika diperlukan, tidak terus-menerus memandang pembantu perempuannya.” (Majmû’ah Rasâ’il al-Imam Al-Ghazali ayat 444).
Ikut berbela sungkawa, datang secara langsung ke rumah tetangga saat mereka terkena musibah (takziyah), atau ikut merasa senang, dengan memberikan ucapan selamat secara langsung kepada tetangga yang baru mendapat nikmat (tahniah) adalah termasuk akhlak yang mulia dalam ajaran Islam.
Mendoakan keluarga, tetangga atau teman yang baru meninggal tidak cukup hanya dengan cara mengirim stiker gambar seperti yang jamak dilakukan oleh pengguna Whatsapp. Karena etika dalam berdoa harus diucapkan, maka sebelum teks doa atau bacaan Al-Fatihah dikirim melalui Whattsapp, hendaknya dibaca terlebih dahulu setelah diniati atau ditujukan kepada orang yang meninggal.
Imam an-Nawawi dalam kitab al-Adzkâr halaman 16 menyebutkan:
“Ketahuilah bahwa dzikir yang disyariatkan dalam sholat dan ibadah lainnya, baik yang wajib ataupun sunnah, tidak dihitung dan tidak dianggap kecuali diucapkan, di mana dia dapat mendengar apa yang ia sendiri ucapkan apabila pendengarannya sehat dan dalam keadaan normal (tidak sedang bising dan sebagainya).”
Hal terkait juga ditegaskan dalam teks berikut:
“Dzikir yang wajib atau sunah, di dalam shalat atau yang lain, tidak bisa mendapatkan pahala kecuali dilafadzkan oleh orang yang berdzikir tersebut dan (suaranya) terdengar, jika pendengarannya normal.” (Al-Mausû’ah al-Fiqhiyah: 21/249).
Maka dari sini dapat kita pahami bahwa tidak semua dimensi dalam silaturahim offline terwakili di dalam silaturahim online yang saat ini gandrung ditempuh oleh manusia era 4.0, termasuk kita. Wallahua’lam.
(adm)
Discussion about this post