KAMU KUAT – Jakarta
Di era media sosial seperti sekarang, banyak remaja tanpa sadar sering membandingkan diri dengan orang lain. Melihat teman sebaya yang punya barang mahal, liburan ke tempat impian, atau sukses di usia muda kadang bikin kita bertanya-tanya, apakah aku sudah cukup?
Padahal, berkecukupan bukan hanya soal memiliki banyak uang atau hidup mewah, tapi lebih ke bagaimana kita merasa nyaman dan puas dengan apa yang kita miliki.
Bagi sebagian orang, berkecukupan berarti mampu memenuhi kebutuhan dasar tanpa rasa khawatir. Namun, bagi yang lain, kecukupan bisa berarti memiliki orang-orang yang peduli dan mendukung, kesehatan yang baik, atau kesempatan untuk terus belajar dan berkembang.
Sikap merasa cukup tersebut disebut dengan qanaah. Qanaah adalah menerima dan selalu merasa cukup dengan segala rezeki yang dimiliki. Sikap ini tidak berarti pasrah, justru qanaah dilakukan dengan penuh ikhtiar dan ketawakalan.
Sebagaimana bagi yang beragama Islam, hal ini disebutkan dalam Al Qur’an yaitu,
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.” (Surah Ibrahim ayat 7)
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam juga bersabda:
“Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian agar kalian tidak memandang hina nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kalian.” (Muttafaqun Alaih)
Jadi, bagaimana sebenarnya arti berkecukupan bagi remaja? Apakah cukup itu berarti puas dengan yang ada atau tetap harus mengejar lebih banyak hal? Berikut beberapa komentar para sahabat kanal remaja dan anak muda KAMU KUAT! Avesiar.com.
Qonit Fildza Maizura, mahasiswi semester 9, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Setiap orang memiliki definisi sendiri tentang apa itu berkecukupan. Bagi Qonit Fildza Maizura, mahasiswa semester 9 di Universitas Gadjah Mada (UGM), berkecukupan bukan hanya soal uang, tetapi juga keseimbangan antara materi dan emosional.
Qonit berbagi pandangannya tentang arti berkecukupan, tantangan dalam mencapai keseimbangan hidup, serta bagaimana ia menghadapi fase-fase sulit dalam perjalanan hidupnya.
“Berkecukupan menurut aku lebih ke keseimbangan antara kebutuhan materi dan emosional. Ia menegaskan bahwa rasa syukur adalah kunci utama dalam merasa cukup. Walaupun aku punya uang banyak, tapi tanpa rasa bersyukur rasanya nggak ada gunanya juga,” ujarnya.
Menurutnya, seseorang yang berkecukupan tidak hanya memiliki stabilitas finansial, tetapi juga mampu menikmati setiap momen dalam hidup tanpa terus membandingkan diri dengan orang lain. “Berkecukupan ini juga tentang gimana kita menjalani hari dan menikmati setiap momen yang ada,” jelasnya.
Ketika ditanya bagaimana ia menilai apakah seseorang sudah berkecukupan atau belum, Qonit menyebut beberapa faktor penting, seperti kebutuhan dasar yang terpenuhi, stabilitas finansial, serta kesehatan jiwa dan raga.
Namun, yang paling utama adalah bagaimana seseorang merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. “Kalau aku sendiri sebenarnya udah ngerasa cukup, tapi karena aku punya tujuan besar seperti lulus kuliah dan kerja di Jepang, kadang aku masih merasa kurang,” katanya.
Menurutnya, perjalanan menuju tujuan hidup sering kali membuat seseorang merasa belum cukup, terutama ketika mulai membandingkan diri dengan kesuksesan orang lain.
Setiap orang pasti pernah berada di titik terendah dalam hidupnya, termasuk Qonit. Saat mengalami masa sulit, ia menghadapinya dengan memberi waktu untuk dirinya sendiri. “Aku suka menikmati waktu sendiriku, ibaratnya untuk nge-charge energi,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga selalu mengingat bagaimana perjuangannya hingga sampai di titik ini. “Semua orang punya jalannya masing-masing. Mungkin jalanku masih gini-gini aja, tapi aku yakin bakalan ada waktunya sendiri buat aku sampai di tujuan itu,” katanya dengan optimis.
Qonit mengakui bahwa lingkungan sekitar sangat berpengaruh dalam membuatnya merasa cukup. “Aku bukan tipe yang selalu cerita tentang keresahanku, tapi entah gimana caranya orang-orang terdekatku, seperti teman dan keluarga, selalu datang untuk menghiburku,” ujarnya.
Bahkan hal kecil seperti telepon dari keluarga atau bercanda dengan teman sudah cukup untuk membuatnya merasa lebih baik.
Namun, di sisi lain, media sosial bisa menjadi pedang bermata dua. “Medsos terkadang berperan sebagai alasan kenapa aku merasa cukup, tapi juga bisa bikin aku merasa kurang,” katanya. Oleh karena itu, ia berusaha untuk mengolah perasaan dan pikirannya agar tidak mudah terpengaruh oleh media sosial.
Bagi Qonit, berkecukupan bukan sekadar memiliki harta yang melimpah, tetapi lebih kepada bagaimana seseorang bisa menyeimbangkan aspek materi dan emosional dalam hidup. Rasa syukur, kesadaran akan perjalanan hidup masing-masing, serta dukungan dari orang-orang terdekat menjadi kunci dalam mencapai perasaan cukup.
Meskipun masih ada impian yang belum tercapai, ia percaya bahwa setiap orang memiliki waktunya sendiri untuk sampai ke tujuan. “Yang penting adalah menikmati perjalanan dan tetap bersyukur atas apa yang sudah dimiliki,” tutupnya.
Rayan Fausta, mahasiswa, semester 2, Universitas Pamulang, Tangerang Selatan

Rayan berbagi perspektifnya tentang arti kecukupan, peran lingkungan dalam membentuk rasa cukup, serta dampak media sosial terhadap cara seseorang menilai kehidupannya.
“Berkecukupan menurut saya adalah saat kita membutuhkan sesuatu, hal itu selalu ada dan bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Rayan. Ia menegaskan bahwa berkecukupan bukan hanya tentang uang, tetapi juga bisa berasal dari aspek lain, seperti keberadaan teman dan keluarga.
“Misalnya, kita punya teman atau keluarga yang bisa menjadi tempat bercerita tentang kegiatan sehari-hari, itu juga bisa disebut berkecukupan,” tambahnya.
Hal ini menunjukkan bahwa kecukupan tidak selalu diukur dari jumlah harta, tetapi juga dari keberadaan orang-orang terdekat yang mendukung.
Rayan merasa benar-benar berkecukupan dalam hidupnya saat ini. Ia bersyukur karena keluarganya masih diberikan rezeki yang cukup untuk menyekolahkan adik-adiknya serta membiayai kuliahnya. “Alhamdulillah, saya tidak pernah merasa kekurangan sedikit pun karena apapun yang terjadi, saya akan selalu tetap bersyukur,” ujarnya.
Bagi Rayan, kunci utama dalam merasa cukup adalah rasa syukur terhadap apa yang telah dimiliki. Menurut Rayan, standar berkecukupan bisa sama, tetapi itu tergantung dari bagaimana setiap individu mensyukurinya.
Ia juga menekankan peran keluarga dan lingkungan dalam membentuk perasaan cukup dalam diri seseorang. “Keluarga bisa mendukung secara emosional, karena dengan dukungan dan pemahaman dari keluarga, seseorang bisa merasa cukup dan percaya diri,” jelasnya.
Sementara itu, lingkungan sekitar juga berperan dalam membentuk persepsi tentang kecukupan melalui budaya dan nilai-nilai yang berlaku. “Budaya dan nilai-nilai di lingkungan bisa berdampak pada apa yang dianggap ‘cukup’ oleh seseorang,” tambahnya.
Rayan juga mengakui bahwa media sosial memiliki pengaruh besar terhadap bagaimana seseorang menilai kecukupan dalam hidupnya. “Di media sosial, kita bisa melihat gaya hidup orang lain, dan hal itu bisa membuat seseorang merasa kurang percaya diri atau merasa dirinya kurang berkecukupan,” tuturnya.
Oleh karena itu, ia percaya bahwa penting bagi seseorang untuk mengelola perasaan dan pikirannya agar tidak mudah terpengaruh oleh standar yang ditampilkan di media sosial.
Ketika ditanya apakah lebih baik merasa cukup dengan yang ada atau terus mengejar lebih, Rayan memberikan jawaban yang seimbang.
“Kalau kita sekarang merasa sudah cukup, ya dinikmati saja. Tapi kalau mengejar yang lebih bisa membuat kita merasa lebih baik dan lebih cukup, ya kejar yang lebih,” katanya. Menurutnya, tidak ada salahnya merasa cukup dengan yang ada, tetapi juga tidak ada salahnya untuk berusaha mencapai hal yang lebih baik.
Bagi Rayan, berkecukupan bukan tentang seberapa banyak yang dimiliki, tetapi tentang bagaimana seseorang mensyukuri apa yang sudah ada. Dukungan keluarga dan lingkungan sangat berperan dalam membentuk rasa cukup, sementara media sosial bisa menjadi tantangan yang perlu dikelola dengan bijak.
Nurakbar Maisya, mahasiswa, semester 4, UPN Veteran Jakarta

Menurut Nurakbar, berkecukupan berarti memiliki cukup untuk hidup nyaman tanpa harus terus khawatir kekurangan. Itu bukan berarti harus hidup mewah, tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan tanpa harus stres berlebihan.
“Berkecukupan nggak selalu tentang uang. Uang memang penting, tapi ada hal lain yang juga berharga, kayak kesehatan, ketenangan, dan hubungan yang baik,” jelasnya.
Banyak orang yang secara finansial kaya, tetapi tetap merasa kurang karena tidak memiliki kedamaian atau kebahagiaan. Itulah mengapa baginya, berkecukupan lebih tentang rasa cukup dan bisa menikmati hidup.
Nurakbar merasa paling berkecukupan ketika bisa menikmati waktu tanpa banyak beban pikiran. “Misalnya, pas kumpul sama keluarga atau teman. Nggak harus mewah, yang penting nyaman,” katanya.
Namun, bukan berarti ia tidak pernah merasa kekurangan. Salah satu hal yang sering ia rasakan adalah kurangnya waktu. “Kadang tugas numpuk, tapi nggak cukup waktu. Biasanya aku atur prioritas dan ambil jeda biar nggak terlalu stres,” ungkapnya. Ini menunjukkan bahwa berkecukupan bukan hanya soal uang, tetapi juga bagaimana seseorang mengelola waktu dan emosinya.
Nurakbar percaya bahwa standar berkecukupan tiap orang berbeda-beda. “Ada yang merasa cukup kalau punya banyak uang, ada juga yang cukup asal sehat. Semua tergantung kebutuhan, kebiasaan, dan cara pandang masing-masing,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa keluarga dan lingkungan berperan besar dalam membentuk rasa cukup dalam diri seseorang. Jika sejak kecil sudah diajarkan untuk bersyukur dan tidak terlalu membandingkan diri dengan orang lain, maka seseorang lebih mudah merasa cukup. Sebaliknya, jika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang selalu menuntut lebih, maka kepuasan bisa menjadi sulit dicapai.
Di era digital, media sosial memiliki pengaruh besar dalam membentuk cara pandang seseorang tentang berkecukupan. “Soalnya di sana banyak orang pamer kehidupan yang kelihatan sempurna, bikin kita merasa kurang meskipun sebenarnya sudah cukup,” ujar Nurakbar.
Ia menyadari bahwa yang ditampilkan di media sosial tidak selalu sesuai dengan realitas, tetapi tetap saja bisa mempengaruhi perasaan dan cara pandang seseorang.
Ketika ditanya apakah lebih baik merasa cukup dengan yang ada atau terus mengejar lebih, Nurakbar memberikan jawaban yang bijak. “Menurut aku lebih baik merasa cukup sambil tetap berkembang. Ngerasa cukup bikin kita lebih tenang, tapi punya keinginan buat maju juga penting,” katanya.
Namun, ia menekankan bahwa jangan sampai mengejar lebih hanya karena merasa kurang akibat membandingkan diri dengan orang lain.
Bagi Nurakbar, berkecukupan lebih dari sekadar harta benda itu soal bagaimana seseorang melihat hidup dan menikmati yang sudah dimiliki. Dukungan keluarga, lingkungan, dan cara seseorang mengelola pikirannya menjadi faktor penting dalam membentuk rasa cukup.
Nurakbar berpesan “Santai aja, nggak harus punya segalanya buat ngerasa cukup. Fokus ke apa yang udah ada dan nikmatin prosesnya. Yang penting tetap jalan terus,” tutup Nurakbar.
Pada akhirnya, definisi berkecukupan memang berbeda untuk setiap orang. Namun, satu hal yang pasti: kecukupan sejati datang dari bagaimana kita mensyukuri dan menikmati apa yang sudah dimiliki. Memiliki impian besar dan berusaha meraih lebih tentu bukan hal yang salah, tapi jangan sampai ambisi tersebut membuat kita lupa menikmati perjalanan dan selalu merasa kurang.
Berkecukupan bukan hanya soal jumlah, tapi juga soal perasaan. Jika kita bisa menjalani hidup tanpa beban berlebihan, merasa cukup dengan yang ada, dan tetap memiliki motivasi untuk berkembang tanpa tekanan yang menyiksa, maka itulah arti sejati dari berkecukupan.
Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa banyak yang kita punya, tapi bagaimana kita menghargai dan memanfaatkan apa yang sudah ada. (Resty)
Discussion about this post