KAMU KUAT – Jakarta
Korupsi sudah seperti penyakit akut yang menjangkiti begitu banyak orang di Indonesia. Tidak hanya di level pemerintahan seperti yang terlihat di layar televisi dan pemberitaan di platform media sosial, namun juga di lingkungan masyarakat lewat praktik-praktik yang sepertinya lazim dan permisif dilakukan.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan korupsi?
Dikutip dari laman Hukum Online, Korupsi berasal dari Bahasa Latin “corruptus” dan “corruptio” yang secara harafiah berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian.
Berbicara soal korupsi, beberapa teman mulai siswa, mahasiswa, pegamat hukum, hingga ustadz dari kanal remaja KAMU KUAT! Avesiar.com berbagi pendapat mereka. Ayo kita simak!
Alexandria Syifani Bachri, siswi kelas 7, SMP Negeri 8, Tangerang Selatan

Ketika mendengar kata “korupsi”, apa yang langsung terlintas di kepala kamu? Untuk Alexandria Syifani Bachri, siswi kelas 7 di SMPN 8, jawabannya sangat tegas: “nyolong uang rakyat, orang-orang curang, hidup enak tapi merugikan banyak orang.” Jawaban yang mungkin sederhana, tapi penuh makna dan sangat relate dengan kenyataan hari ini.
Alexandria menggambarkan korupsi seperti penyakit yang sudah masuk stadium 3 bahkan 4. “Karena udah menyebar ke banyak sektor, dari pusat sampai daerah, bahkan hal kecil pun kadang udah dianggap biasa,” ujarnya. Pernyataan ini bukan asal sebut. Karena meskipun ia masih duduk di bangku SMP, Alex menyadari bahwa dampak korupsi bisa sampai ke kehidupan remaja seperti dirinya.
Alexandria percaya bahwa korupsi bukan cuma urusan orang dewasa di gedung-gedung pemerintahan. Menurutnya, ketika uang negara dikorupsi, fasilitas sekolah jadi kurang, biaya pendidikan makin mahal, dan bantuan siswa pun tidak merata. “Kita yang harusnya dapat hak penuh buat belajar malah kebagian sisanya aja,” katanya.
Yang menarik, Alexandria juga melihat bahwa benih-benih korupsi bisa tumbuh di lingkungan sekolah. “Kayak nyontek itu sebenarnya udah bentuk kecurangan. Bayar biar dapet nilai, nyuri barang teman itu semua menormalisasi perilaku nggak jujur,” jelasnya. Ia percaya, kalau kebiasaan kecil kayak gitu dibiarkan, bisa aja kebawa sampai dewasa.
Saat ditanya apa yang bikin orang korupsi, Alex menjawab tegas: “Kurang malu.” Menurutnya, banyak koruptor justru punya uang dan pendidikan. Tapi karena nggak punya rasa malu dan tanggung jawab moral, mereka tetap nekat menyalahgunakan kekuasaan.
Namun begitu, Alex optimis remaja bisa jadi bagian dari perlawanan terhadap korupsi. Caranya? Mulai dari hal-hal kecil yang bisa dilakukan sekarang. “Kayak enggak nyontek, jujur dalam tugas, enggak titip absen, dan berani speak up kalau lihat ketidakadilan,” jelasnya.
Di akhir wawancara, Alex mengakui bahwa jadi orang jujur itu memang nggak mudah di zaman sekarang. Tapi bukan berarti nggak mungkin. “Susah karena lingkungan kadang nggak mendukung. Orang jujur malah dianggap aneh. Tapi justru di zaman sekarang, orang jujur itu berharga banget,” tutupnya.
Danisha Khayyirah, siswi kelas 11, SMA Negeri 12, Tangerang Selatan

Bagi Danisha Khayyirah, siswi kelas XI dari SMAN 12 Negeri Kota Tangerang Selatan, korupsi bukan sekadar soal mencuri uang negara. Lebih dari itu, korupsi adalah cerminan dari sifat manusia yang tidak pernah cukup, tidak tahu cara menghargai orang lain, dan penuh rasa ketidakadilan.
Pendapatnya ini membuka pandangan baru tentang betapa dalam dan luasnya dampak dari korupsi dalam kehidupan sehari-hari. “Kalau korupsi itu penyakit, sekarang udah stadium 3,” ujar Danisha.
Ia menambahkan, di tahun 2025 ini saja sudah banyak kasus korupsi yang mencuat ke permukaan baik di sosial media maupun di berita-berita. Artinya, korupsi bukan lagi hal asing bagi generasi muda, karena informasinya begitu dekat dengan keseharian mereka.
Danisha mengungkapkan bahwa efek korupsi sangat terasa bagi anak muda. Misalnya, berkurangnya lapangan pekerjaan untuk lulusan baru adalah salah satu dampak nyata. “Lingkungan orang-orang buruk yang korup, jadi contoh yang tidak baik bagi remaja,” katanya.
Yang cukup menyentuh adalah pengalamannya melihat praktik korupsi dalam dunia pendidikan. Ia menyebut bahwa ada sekolah negeri yang seharusnya gratis, namun masih ada siswa yang diminta membayar demi bisa duduk di bangku sekolah. “Bahasa kasarnya, nyogok. Padahal seharusnya pendidikan itu hak semua orang,” jelas Danisha dengan nada kecewa.
Menurut Danisha, orang yang korupsi bukan cuma karena kurang uang, tapi juga karena kurang didikan dan yang paling penting kurang malu. Ia juga menyinggung soal gaya hidup yang berlebihan. “Mereka terlalu mementingkan kepuasan diri dan terlalu sering melihat ke atas, sampai lupa untuk bersyukur,” katanya.
Namun di balik semua kritik itu, Danisha percaya kalau remaja juga bisa jadi bagian dari perubahan. “Mulai dari berani speak up saat lihat kesalahan, dan jujur dalam hal apapun. Itu sudah langkah yang besar,” tegasnya.
Menutup obrolan, Danisha bilang bahwa jadi orang jujur itu sebenarnya tidak sulit selama ada niat dalam diri sendiri. “Kalau kita punya niat dan tekad, pasti bisa kok. Dunia boleh serba curang, tapi kita bisa pilih buat tetap lurus,” ucapnya.
Danisha adalah bukti bahwa generasi muda tidak buta atau apatis terhadap isu-isu besar seperti korupsi. Mereka melihat, merasakan, dan mulai bersuara. Karena masa depan yang bebas korupsi harus dibangun mulai dari hari ini oleh mereka yang berani jujur sejak muda.
Shafa Annisa, mahasiswi semester 4, Akper Husada Karya Jaya

Shafa Annisa, mahasiswi semester 4 di Akper Husada Karya Jaya, punya pandangan yang jujur dan tajam soal fenomena ini khususnya tentang korupsi yang semakin merajalela.
“Kalau denger kata ‘korupsi’, yang langsung kepikiran tuh penyalahgunaan kekuasaan, uang rakyat diselewengkan,” kata Shafa saat ditanya awal mula persepsinya tentang korupsi. Buat dia, korupsi bukan hal sepele, melainkan masalah serius yang sudah masuk stadium akhir. “Stadium 4. Karena semakin bertambahnya tahun, semakin banyak orang yang korupsi.”
Mungkin banyak yang mikir korupsi itu cuma urusan pejabat atau orang-orang di atas sana. Tapi Shafa punya sudut pandang lain. “Efeknya tuh nyampe banget ke kehidupan kita sebagai remaja, cuma kadang kita nggak sadar aja,” katanya.
Salah satu contohnya adalah akses pendidikan yang terbatas. Beasiswa yang seharusnya diberikan untuk siswa kurang mampu bisa aja nggak sampai karena ‘dimainkan’ orang dalam. Akhirnya, anak-anak yang benar-benar butuh jadi nggak kebagian.
Menurut Shafa, korupsi bukan cuma soal uang miliaran atau kasus besar di berita. Di lingkungan kampus pun, ia sering lihat bentuk-bentuk “mini korupsi” yang dianggap biasa. “Lebih sering liat menyontek sih,” katanya.
Tindakan-tindakan seperti nyontek, titip absen, atau manipulasi nilai adalah bibit-bibit ketidakjujuran yang bisa jadi kebiasaan buruk kalau nggak dikendalikan sejak dini.
Menariknya, Shafa nggak cuma menyalahkan kondisi ekonomi sebagai penyebab korupsi. Ia percaya bahwa penyebab utamanya justru karena kurang bersyukur. “Banyak orang yang udah punya gaji besar atau jabatan tinggi tetap tergiur untuk makan uang orang lain,” ungkapnya.
Baginya, ini bukan soal kebutuhan, tapi soal hati dan keserakahan. Shafa yakin bahwa remaja seperti dirinya bisa berkontribusi dalam melawan korupsi. Tapi langkah pertama dimulai dari diri sendiri. “Kita harus membiasakan diri untuk nggak tergiur dengan hal-hal yang berbau korupsi, dan belajar jujur dalam kondisi apa pun. Jujur itu nggak gampang, apalagi di zaman sekarang,” katanya.
Hal itu bukan karena jujurnya yang sulit, tapi karena lingkungan sering kali tidak mendukung. Ia memberi contoh: di sekolah atau tempat kerja, kadang orang yang curang justru mendapat nilai lebih tinggi atau promosi lebih cepat. Tapi meski begitu, Shafa tetap percaya bahwa kejujuran adalah nilai yang harus dijaga.
kita bisa lihat bahwa melawan korupsi nggak harus nunggu jadi pejabat atau orang besar. Cukup mulai dari diri sendiri: jujur, nggak curang, dan nggak tergoda sama hal-hal yang merugikan orang lain.
Surahmat, S.H., M.H, Pengamat Hukum

Apa sih korupsi itu? Secara sederhana, korupsi adalah tindakan curang yang dilakukan seseorang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang akhirnya merugikan negara dan masyarakat. Misalnya, mengambil uang negara, menyalahgunakan jabatan, menerima suap, atau bahkan sekadar memalsukan data.
Menurut hukum di Indonesia, tepatnya UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001, ada banyak bentuk korupsi. Mulai dari suap, gratifikasi (pemberian hadiah karena jabatan), penyalahgunaan kekuasaan, sampai menggagalkan proses hukum. Tapi jangan salah, korupsi nggak cuma soal uang miliaran—menyontek juga termasuk bentuk kecil dari perilaku koruptif.
Kenapa Remaja Harus Peduli?
Remaja itu calon pemimpin masa depan. Kalau dari sekarang sudah terbiasa jujur dan bertanggung jawab, maka ketika dewasa nanti, mereka nggak gampang tergoda untuk korupsi. Masa remaja adalah waktu emas untuk membentuk karakter dan karakter yang jujur, berintegritas, serta anti-korupsi adalah bekal utama jadi pemimpin yang baik.
Selain itu, banyak perilaku koruptif kecil di sekitar kita yang sudah dianggap “biasa”. Misalnya, bayar “uang pelicin” biar urusan cepat selesai, kasih “uang terima kasih” ke pegawai yang cuma menjalankan tugasnya, atau pakai fasilitas sekolah/kantor untuk keperluan pribadi. Semua itu, walau kelihatannya sepele, tetap masuk kategori korupsi!
Korupsi = Kanker Ekonomi
Korupsi itu ibarat kanker yang menyerang ekonomi negara. Akibatnya serius banget: pertumbuhan ekonomi melambat, kepercayaan investor turun, kesenjangan sosial makin parah, bahkan kemiskinan makin sulit diberantas. Negara akan sulit maju kalau korupsi dibiarkan terus.
Kenapa Korupsi Semakin Marak?
Meskipun sudah ada hukuman untuk pelaku korupsi, kenyataannya semakin banyak yang melakukannya. Kenapa? Karena sanksinya nggak tegas, penjara terlalu “nyaman”, dan masih ada remisi atau potongan hukuman. Ada juga yang bilang, “Semua orang juga korupsi, kenapa gue nggak?”
Solusinya? Pemerintah perlu menerapkan hukum yang lebih tegas, termasuk perampasan aset hasil korupsi. Tapi lebih dari itu, perlu dibangun budaya anti-korupsi dari rumah, sekolah, hingga lingkungan masyarakat.
Remaja bisa ambil peran penting dalam memberantas korupsi. Caranya?
1. Mulai dari diri sendiri : Jangan menyontek, jangan curang, biasakan jujur.
2. Bangun integritas : Tetap pegang prinsip meski nggak ada yang melihat.
3. Berani bersuara : Kalau tahu ada tindakan korupsi, laporkan lewat jalur yang tepat.
4. Aktif di sekolah : Ikut kampanye, seminar, atau lomba bertema anti-korupsi.
5. Gunakan media sosial dengan bijak : Edukasi teman sebaya tentang bahaya korupsi.
6. Gabung komunitas : Ada banyak gerakan anak muda yang peduli soal korupsi.
7. Jadi contoh : Gaya hidup sederhana dan jujur bisa menginspirasi banyak orang.
Ayo Jadi Generasi Anti-Korupsi
Saat ini, makin banyak remaja yang sadar pentingnya melawan korupsi. Akses informasi yang luas, terutama lewat media sosial, membuat kita lebih kritis dan berani bersuara. Sekarang saatnya kita bersatu, jadi agen perubahan, dan bantu putus mata rantai korupsi dari generasi ke generasi.
Roba’i, S.Ag, Guru Agama dan Ustadz

Korupsi bukan sekadar isu yang terjadi di level pemerintahan atau pejabat tinggi. Sebenarnya, bibit-bibit korupsi bisa mulai tumbuh sejak seseorang masih remaja bahkan dari hal-hal yang dianggap sepele. Karena itu, penting bagi kita untuk mengenalkan bahaya korupsi kepada remaja sedini mungkin.
Misalnya, sederhana lainnya adalah saat seorang siswa meminta izin ke toilet selama 5 menit, tetapi kembali setelah 20 menit tanpa alasan yang jelas. Ini juga bisa menjadi bentuk pelanggaran terhadap amanah dan disiplin dua hal yang menjadi pondasi dalam pencegahan korupsi.
Peran Keluarga dan Sekolah dalam Mencegah Korupsi
Pencegahan korupsi harus dimulai dari lingkungan terdekat remaja, yaitu keluarga dan sekolah. Orang tua memegang peranan penting karena waktu anak lebih banyak dihabiskan di rumah. Begitu juga dengan guru, khususnya guru agama, yang menjadi panutan dalam menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual.
Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik.”
(QS. An-Nahl: 125)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa dalam menyampaikan nilai-nilai kebaikan, termasuk tentang bahaya korupsi, harus dilakukan dengan bijak dan pendekatan yang lembut. Remaja bukan hanya butuh nasihat, tetapi juga contoh nyata dan komunikasi yang intensif.
Cara Efektif Menyampaikan Bahaya Korupsi pada Remaja
Ada dua pendekatan yang bisa dilakukan untuk menanamkan kesadaran antikorupsi pada remaja:
1. Pendekatan intensif
Lakukan diskusi yang terbuka dan rutin tentang apa itu korupsi dan dampaknya terhadap masyarakat.
2. Berikan contoh nyata
Tampilkan kasus-kasus korupsi yang relevan, serta bagaimana akibatnya merusak tatanan bangsa.
Nilai-Nilai Islam untuk Membangun Remaja Anti-Korupsi
Islam sangat menekankan akhlak mulia sebagai dasar dalam kehidupan. Untuk membentuk remaja yang antikorupsi, ada tiga nilai utama yang harus ditanamkan:
1. Jujur (Shidiq) – berkata dan bersikap apa adanya.
2. Amanah – dapat dipercaya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab.
3. Taqwa – selalu merasa diawasi oleh Allah dan takut melakukan hal yang dilarang.
Korupsi telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, nilai-nilai agama harus ditanamkan sejak dini. Tidak ada satu pun agama yang membenarkan perbuatan korupsi.
Ingat, remaja hari ini adalah pemimpin masa depan. Jika mereka tidak peduli terhadap bahaya korupsi sejak sekarang, maka kehancuran bangsa tinggal menunggu waktu. Mari kita bangun generasi yang bersih, jujur, dan bertanggung jawab demi Indonesia yang lebih baik. (Resty)
Discussion about this post