Avesiar – Jakarta
Perkara halal dan haram menjadi perdebatan batin ketika kita meragukan suatu desakan keputusan. Apalagi yang mungkin masuk pada perkara syubhat. Di mana perkara syubhat ini, posisinya berada di antara keduanya.
Secara bahasa, dikutip dari laman Majelis Ulama Indonesia, Sabtu (28/1/2023), syubhat berarti kabur, samar, atau tidak jelas. Sedangkan Syubhat secara istilah adalah terbatas pada hal-hal yang berada di antara maslahat dan mafsadat, dimana disana ada maslahat tanpa diperkirakan adanya mafsadat atau keduanya.
Hal ini selaras dengan hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ánhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas pula. Dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang syubhat. Yang tidak diketahui oleh sebagian besar manusia. Maka batang yang meninggalkan yang syubhat, maka dia telah membersihkan diri dari agama dan kehormatannya” (HR Bukhari 52 dan Muslim 1599 dari Nu’man bin Basyir RA).
Dengan demikian agama dan kehormatan kita menjadi bersih, jika kita meninggalkan perkara-perkara yang syubhat.
Syekh Izzuddin bin Abdus Salam, dalam Karyanya, Syajarat al-Maarif, menjelaskan contoh-contoh yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala halalkan, haramkan, dan yang terjadi perbedaan pendapat di antara keduanya:
Pertama, contoh yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala halalkan dengan menyebutkan sifatnya. Misalnya, gandum dan domba yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala ciptakan dengan sifat yang menunjukkan kehalalannya. Maka dia bisa diharamkan kecuali karena adanya sebab-sebab yang rusak, seperti karena barang itu merupakan hasil rampasan.
Dengan demikian jika keduanya diambil melalui sebab-sebab yang disepakati, maka keduanya halal.
Akan tetapi jika keduanya diambil dengan sebab yang diperselisihkan, maka keduanya menjadi syubhat, karena sebabnya bukan dari sifatnya.
Kedua, contoh yang haram secara jelas adalah bangkai dan darah. Keduanya itu diharamkan, karena sifatnya. Maka keduanya tidak bisa menjadi halal, tanpa ada sebab-sebab tertentu, misalnya terdesak ataupun terpaksa yang disepakati hukumnya halal dalam dua kondisi ini.
Akan tetapi jika keduanya berada dalam perselisihan pendapat, maka tingkatan meninggalkan bangkai adalah sesuai dengan tingkatan dalilnya, dalam hal kuat dan lemahnya.
Ketiga, contoh sesuatu yang terjadi perbedaan pendapat didalamnya, karena sifatnya. Misalnya cakar binatang buas hukumnya haram karena Rasullullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah mengharamkan setiap binatang yang memiliki cakar atau kuku tajam.
Dengan demikian jika kita mengambil dari sebab-sebab yang telah disepakati, maka syubhatnya adalah dari sisi sifat yakni “cakarnya”, dan jika kita ambil dari sisi yang perbedaan pendapat di dalamnya, maka syubhatnya datang dari sifatnya serta kesamaannya. Wallahua’lam. (adm)
Discussion about this post