Avesiar – Jakarta
Fenomena gaya hidup dengan menonjolkan kelebihan seseorang melalui barang-barang yang digunakannya, atau seringnya menampilkan diri sedang berada di tempat-tempat berkelas, yang bahkan dijadikan komoditas status update di media sosial, sering kita lihat setiap saat.
Sekilas, bagi masyarakat umum, hal ini mampu membius orang lain yang melihatnya untuk menciptakan persepsi soal kemapanan hidup dan sering dikenal dengan istilah flexing atau flexing culture.
Dalam kamus Merriem Webster, kata flex atau flexing diartikan “to make an ostentatious display of something : show off” atau “untuk membuat tampilan sesuatu yang mencolok atau memamerkan”.
Mengenai fenomena flexing yang terjadi di masyarakat saat ini, ahli kesehatan jiwa di Rumah Sakit Umum Daerah (RUSD) Cengkareng, Jakarta Barat, yang juga tenaga ahli di Madani Bio-psiko Sosial Spiritual, dr. Djoni Ismoyo, Sp.Kj, menyebut bahwa hal tersebut masuk pada gangguan kejiwaan.
“Orang-orang yang melakukan Flexing itu adalah orang-orang yang menderita atau memiliki low self-esteem atau kepercayaan diri yang rendah. Ya penyakit dari rendahnya kepercayaan diri. Karena mereka tidak percaya diri dengan dirinya apa adanya. Karena rendahnya rasa percaya diri tersebut, dia merasa percaya diri dengan mengandalkan bantuan hal-hal yang menunjukkan materi atau kesan mewah saat berinteraksi dengan masyarakat,” ungkapnya kepada Avesiar.com.

Menunjukkan sisi kemapanan sesekali, lanjut dokter Djoni, adalah hal yang wajar. Namun, bagi pelaku flexing, mereka harus terus melakukannya agar tetap merasa percaya diri. Menurut dokter senior 66 tahun itu, orang-orang yang ketergantungan pada budaya flexing atau flex culture itu patut dikasihani. Karena mereka merasa tidak ‘pede’ dengan diri mereka apa adanya.
Mereka, imbuhnya, harus berjuang untuk bisa percaya diri dengan cara demikian. Yang mengkhawatirkan adalah, ketika mereka setiap saat harus memikirkan apa lagi yang bisa ditampilkan.
“Belum lagi jika hal ini menjangkiti orang-orang yang sebenarnya dari sisi strata ekonomi, pas-pasan atau kurang mampu. Akhirnya banyak orang memaksakan diri untuk punya sesuatu sebagai modal flexing-nya dengan berbagai cara. Nah, ini yang kita miris. Pasien saya, banyak yang datang karena terlibat pinjol (pinjaman online, red). Tagihannya bisa sampai 100 jutaan dan bikin stres. Ya karena hal-hal semacam ini,” terangnya.
Ahli kejiwaan senior itu juga menjelaskan bahwa budaya flexing tidak hanya menjangkiti orang dewasa, namun juga anak-anak. “Di usia anak sekolah kelas 5 dan 6 juga ada. Mereka sudah terbiasa dengan berusaha mempraktikan hal-hal semacam itu (flexing, red). Bisa dibayangkan anak seusia tersebut sudah memiliki low self-esteem,” beber Djoni.
Menurut dia, prilaku flexing yang terus menerus dilakukan dapat berdampak pada gangguan kejiwan lanjutan seperti depresi. Hal itu, lanjutnya, karena orang tersebut harus memikirikan terus bagaimana agar tetap terlihat glamor dan menarik di depan orang lain secara materi.
“Bisa depresi. Karena yang dipikirkan ya supaya tetap bisa terlihat menarik atau dihargai dengan tampilan materi. Berbahaya juga jika orang yang secara sosial ekonomi sebenarnya pas-pasan. Bisa menggunakan cara pintas untuk bisa mendapatkan materi yang dibutuhkan untuk budaya flexing yang dia lakukan,” ucapnya.
Menurut dokter Djoni, langkah terbaik untuk bisa hidup dengan percaya diri yang baik adalah dengan menerima keadaan diri apa adanya dan lebih menunjukkan pada kualitas pribadi dan prestasi. Sehingga lebih nyaman dalam menempatkan diri tanpa harus bersandar bahwa kemampuan materi adalah yang menarik dilihat orang lain.
“Ya bersyukur saja dengan apa yang kita miliki, tanpa harus memaksakan. Tentu dengan cara seperti ini rasa percaya diri akan dibangun lebih sehat dan tidak menyebabkan kita tersiksa di kemudian hari,” pungkasnya. (ros)
Discussion about this post