Avesiar – Cerpen dan Puisi
Saat Takdir Bertaut di Mihrab Cinta (bagian 4, habis)
Oleh: Mas Ngabehi
***************
Rafi menundukkan kepala, suaranya penuh ketulusan. “Saya tidak pernah menyebut namanya dalam doa, Pak. Saya hanya meminta agar Allah mempertemukan saya dengan seseorang yang bisa membimbing saya menuju surga. Jika memang Aisyah yang Allah takdirkan, saya akan menjaganya dengan segenap hati dan iman saya.”
Suasana hening sejenak. Aisyah yang mendengar dari balik tirai merasa hatinya bergetar. Kata-kata Rafi begitu sederhana, tapi begitu dalam maknanya. Perlahan, ia merasa ada ketenangan yang menyelimuti hatinya, seolah-olah takdir memang telah mengarahkannya kepada Rafi.
Keputusan Aisyah
Malam itu, Aisyah melakukan istikharah. Dalam sujudnya yang panjang, ia memohon petunjuk kepada Allah. Jika Rafi memang yang terbaik untuknya, maka mudahkanlah jalannya. Jika bukan, maka jauhkanlah dengan cara yang baik.
Keesokan harinya, ia duduk bersama orang tuanya. Dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan, Aisyah berkata, “Bagi Aisyah, cinta bukan hanya tentang siapa yang paling kaya atau paling sempurna. Tapi tentang siapa yang paling bisa membimbingku menuju Allah. Jika Rafi adalah orang itu, maka Aisyah yakin dengan keputusan ini.”
Ayahnya tersenyum bangga. “Jika itu keputusanmu setelah berdoa dan berpikir matang, maka kami restui. Semoga Allah memberkahi perjalanan kalian.”
Maka, di sebuah mihrab yang menjadi saksi doa-doa mereka, takdir akhirnya mempertemukan dua hati yang sama-sama mencari ridha-Nya. Rafi dan Aisyah, dua insan yang dipertemukan bukan karena nafsu dunia, tetapi karena cinta yang bertaut dalam mihrab ibadah.
Cinta yang Diresmikan di Mihrab
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Masjid kecil di pinggiran kota itu kini menjadi saksi kebahagiaan dua insan yang dipertemukan dalam takdir-Nya. Tak ada pesta mewah, tak ada hiasan berlebihan. Hanya lantunan ayat suci Al-Qur’an, doa-doa penuh ketulusan, dan wajah-wajah yang dipenuhi haru.
Aisyah duduk di ruangan khusus untuk wanita, mengenakan gamis putih sederhana yang membalut dirinya dengan anggun. Wajahnya berseri dalam ketenangan. Hatinya mantap, karena ia yakin bahwa Rafi adalah jawaban dari doa-doanya selama ini.
Di ruangan lain, Rafi duduk dengan penuh kekhusyukan. Tangannya sedikit gemetar, tetapi hatinya teguh. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa pernikahan ini bukan hanya tentang cinta, tetapi tentang ibadah.
Saat ijab kabul diucapkan, air mata haru menetes di sudut mata Aisyah. Suara Rafi terdengar tegas dan mantap. Semua saksi mengaminkan. Rafi kini resmi menjadi imam bagi Aisyah. Dengan penuh rasa syukur, ia menatap ke arah pintu tempat Aisyah berada, menyadari bahwa wanita yang dulu ia kagumi dari kejauhan kini telah menjadi istrinya.
Setelah acara akad, Rafi duduk di hadapan Aisyah untuk prosesi sungkeman. Ia menundukkan kepalanya, lalu berucap dengan suara yang bergetar penuh emosi, “Aisyah, aku bukan laki-laki yang sempurna, tetapi aku akan berusaha menjadi imam yang baik untukmu. Aku tak bisa menjanjikan kemewahan, tetapi aku ingin membawa kita menuju keberkahan.”
Aisyah tersenyum, matanya berbinar, “Dan aku tak pernah meminta kesempurnaan, Rafi. Aku hanya ingin seorang imam yang bisa menuntunku menuju ridha Allah. Aku percaya, kaulah orang itu.”
Tangannya saling menggenggam dalam hening. Semua mata yang menyaksikan tak kuasa menahan haru. Ini bukan hanya tentang pernikahan, ini adalah awal perjalanan dua insan yang ingin meniti jalan menuju surga bersama.
Setelah semuanya selesai, Rafi dan Aisyah melangkah keluar dari masjid, bersama-sama menatap langit yang cerah. Di dalam hati mereka, ada rasa syukur yang tak terhingga. Mihrab yang dulu menjadi saksi bisu doa-doa mereka, kini menjadi tempat cinta mereka diresmikan.
Pesan moral: Jodoh adalah rahasia Allah, tetapi usaha dan doa akan membawa kita pada takdir yang telah ditetapkan. Cinta sejati bukan sekadar perasaan, tetapi ibadah yang membawa ketenangan dan keberkahan.
Saat dua hati bertaut di mihrab cinta, itu bukan sekadar pertemuan, tetapi penyatuan dalam ibadah kepada-Nya. (selesai)
______________
Selayang pandang:
Penulis puisi dan cerpen Dr. Sri Satata, M.M, adalah Pegiat Bahasa dan Sastra, serta Dosen.
Ia adalah sosok yang telah mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan dan sastra selama lebih dari dua dekade. Sebagai seorang pendidik sekaligus penulis, ia berhasil membangun reputasi sebagai salah satu figur yang berpengaruh dalam pengembangan literasi di Indonesia.
Sri Satata aka Mas Ngabehi menyelesaikan studi S1 di bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Surakarta (1984–1988). Selanjutnya, ia meraih gelar Magister Manajemen dari International Golden Institute (2002–2004) dan menyempurnakan pendidikannya dengan gelar Doktor dalam bidang Manajemen Ilmu Pendidikan di Uninus Bandung (2020–2022).
Discussion about this post