Avesiar – Cerpen dan Puisi
Saat Takdir Bertaut di Mihrab Cinta (bagian 3)
Oleh: Mas Ngabehi
***************
“Ya Allah, jika ini yang terbaik, lapangkanlah hatiku. Jika bukan, maka berikanlah aku petunjuk yang nyata.”
Di tempat lain, Rafi mendengar kabar itu dari para jamaah masjid. Seakan ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Ia sudah menduga bahwa Aisyah pasti akan segera dipinang oleh seseorang yang lebih baik darinya. Namun, mendengarnya secara langsung tetap terasa berat.
“MasyaAllah, Aisyah akan dilamar Ustaz Hakim untuk putranya. Kabar yang membahagiakan, bukan?”
Rafi tersenyum tipis, meski hatinya bergetar.
“Iya, kabar yang baik,” jawabnya pelan.
Namun, malam itu, Rafi kembali sujud dalam diam. Kali ini, doanya lebih berat dari sebelumnya. “Ya Allah, aku ikhlas jika memang dia bukan untukku. Aku hanya ingin melihatnya bahagia dalam jalan yang Engkau ridai.”
Perasaan yang Diuji
Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Rafi. Ia semakin jarang berbicara dengan orang lain, lebih banyak menghabiskan waktu di masjid, menenggelamkan diri dalam bacaan Al-Qur’an dan kajian agama. Ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia bukan hanya beribadah karena ingin sesuatu, tetapi karena ingin lebih dekat dengan Allah.
Namun, di sisi lain, Aisyah semakin gelisah. Lamaran Faris masih belum ia jawab, hatinya masih terasa ragu. Setiap kali ia mencoba membayangkan dirinya menjalani kehidupan bersama Faris, ada sesuatu yang terasa tidak pas.
Hingga suatu sore, setelah mengajar anak-anak mengaji, ia berpapasan dengan Rafi di serambi masjid. Pandangan mereka bertemu sesaat, namun cukup untuk membuat dada Aisyah berdegup lebih cepat.
“Assalamu’alaikum, Kak Aisyah.”
“Wa’alaikumsalam, Rafi.”
Ada keheningan di antara mereka, sebelum akhirnya Rafi memberanikan diri berbicara.
“Saya dengar… ada seseorang yang melamar Kak Aisyah. Masya Allah, itu kabar yang baik.”
Aisyah menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Iya… tapi saya masih meminta petunjuk dari Allah.”
Rafi mengangguk pelan, meski hatinya semakin berat. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin mengungkapkan apa yang selama ini hanya ia pendam dalam doa.
Tapi, siapa dirinya? Ia hanya seorang pemuda yang baru saja belajar merangkai jalan hijrahnya. Bagaimana mungkin ia bisa mengharapkan seseorang seperti Aisyah?
Malam itu, Aisyah kembali bersujud, dan untuk pertama kalinya, ia menyebut satu nama dalam doanya. “Ya Allah, jika memang Rafi yang lebih baik untukku, maka dekatkanlah kami dalam jalan yang Engkau ridai…”
Sebuah Percakapan dengan Ustaz
Di sebuah sore yang syahdu, Rafi duduk bersimpuh di hadapan Ustadz Karim di sudut masjid. Wajahnya tampak gelisah, matanya berkabut oleh kebimbangan. Sang ustadz, dengan kebijaksanaan yang selalu terpancar dari wajahnya, menatap Rafi dengan penuh pengertian.
“Ustadz,” suara Rafi lirih, “saya takut melangkah. Saya takut harapan ini terlalu tinggi, dan saya takut tidak pantas.”
Ustadz Karim tersenyum lembut. “Jangan takut melangkah jika niatmu adalah ibadah, Rafi. Jodoh memang takdir, tapi usaha dan doa tetap diperlukan. Jika hatimu condong kepada seseorang, mendekatlah dengan cara yang diridhai Allah.”
Rafi menghela napas dalam. Kata-kata ustadz bagaikan tetesan embun di hati yang gersang. Ada harapan yang menyala kembali dalam hatinya. Dengan penuh keyakinan, ia menatap sang ustadz dan berkata, “Ustadz, bolehkah saya meminta bimbingan? Saya ingin melamar Aisyah dengan cara yang baik dan syar’i.”
Senyum ustaz semakin melebar. “InsyaAllah, Rafi. Jika niatmu tulus dan ikhlas, Allah pasti akan memudahkan jalanmu.”
Lamaran yang Tak Terduga
Beberapa hari kemudian, Rafi mengunjungi rumah keluarga Aisyah dengan hati yang berdebar. Ia datang bersama seorang ustadz dan sahabatnya untuk menyampaikan niat baiknya.
Di ruang tamu yang sederhana namun menenangkan, ayah Aisyah menatap Rafi dengan tatapan yang penuh makna. “Kami tahu siapa kamu, Rafi. Kami melihat perubahanmu, kesungguhanmu dalam mencari ilmu, dalam mendekatkan diri kepada Allah. Tapi, bagaimana kamu yakin bahwa Aisyah adalah yang terbaik untukmu?” (bersambung ke bagian 4)
______________
Selayang pandang:
Penulis puisi dan cerpen Dr. Sri Satata, M.M, adalah Pegiat Bahasa dan Sastra, serta Dosen.
Ia adalah sosok yang telah mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan dan sastra selama lebih dari dua dekade. Sebagai seorang pendidik sekaligus penulis, ia berhasil membangun reputasi sebagai salah satu figur yang berpengaruh dalam pengembangan literasi di Indonesia.
Sri Satata aka Mas Ngabehi menyelesaikan studi S1 di bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Surakarta (1984–1988). Selanjutnya, ia meraih gelar Magister Manajemen dari International Golden Institute (2002–2004) dan menyempurnakan pendidikannya dengan gelar Doktor dalam bidang Manajemen Ilmu Pendidikan di Uninus Bandung (2020–2022).
Discussion about this post