Avesiar.com
Mengubah Pandanganku Terhadap Ibuku
Karya: Aqsha Rizad Ibrahim (Siswa kelas XI Mia 1, Medan, Sumatera Utara)
Aeden. Itu saja, atau setidaknya nama itulah yang Ibu berikan kepadaku, tidak lebih. Ia bilang bahwa namaku memiliki arti yang bagus. “Kebahagiaan yang abadi”, begitu katanya. Ya memang aku tidak pernah mempermasalahkan mengapa namaku hanya sebatas satu kata itu saja. Namun, aku sedikit mempertanyakan kenapa makna yang tersirat dalam namaku ini tidak atau belum pernah sejalan dengan kehidupanku.
Kedua orang tuaku telah lama berpisah, mungkin semenjak aku berusia 7 atau 8 tahun – aku tidak terlalu mengingatnya, dan memang aku juga tidak mau – sehingga membuat aku harus tinggal bersama Kakekku, Hassan. Dia adalah orang terbaik yang pernah aku kenal, jauh lebih baik dari orang tuaku. Terkadang aku juga bingung mengapa aku bisa sebenci itu terhadap mereka, terlepas dari mereka yang menelantarkanku saat aku masih terbilang sangat muda.
Aku lahir di kota Edirne, salah satu kota terpinggir yang sangat dekat dengan perbatasan Turki-Bulgaria-Yunani. Edirne bisa ditempuh kurang lebih selama 3 jam dari Istanbul. Aku lahir dan besar di sana, yah paling tidak sampai mereka berpisah.
Setelah kejadian itu, Ibuku menikah dengan pria lain yang sama sekali tidak pernah aku kenal sebelumnya. Sementara, ayahku meninggal dunia 3 minggu sesudahnya karena mengalami overdosis alkohol. Kemudian Kakek Hassan, yaitu Ayah dari Ibuku yang hidup sebatang kara setahun belakangan karena istrinya meninggal, mulai menjaga dan mengasuhku beserta Aleesha, adik perempuanku. Dia membawa kami ke Antalya, kota di pesisir selatan Turki yang berjarak 11 jam perjalanan dari Edirne.
Hidup kami berubah 180 derajat sejak kami mulai tinggal bersama Kakek. Aku sendiri juga sangat merasakannya. Hampir sama sekali tidak ada masalah apapun yang datang kepadaku, yang mana hal tersebut sudah sangat lumrah aku dapati ketika aku masih bersama orang tuaku. Yah, semuanya berjalan dengan sangat lancar, sampai-sampai aku mulai berpikir bahwa arti yang terkandung di namaku ini mulai terealisasi. Setidaknya, sampai aku merasakan ada hal yang berbeda pagi ini.
—–
Seluruh mimpiku tiba-tiba saja menjadi buyar. Sebuah suara seperti teriakan mulai sayup terdengar di telingaku. Suara itu mulai semakin jelas hingga pada akhirnya aku mendapatkan kesadaranku secara penuh. Aku mulai menyadari suara itu seperti suara Aleesha. Ya itu memang terdengar sangat mirip. Aku menyalakan hp-ku, melihat jam masih menunjukkan pukul 03.47 dini hari.
Memang aku sudah terbangun sepenuhnya dari tidurku, tapi aku hanya ingin memastikan bahwa suara yang kudengar benar-benar suara dari adikku. Bukan suara dari alam mimpi yang masih membekas di alam bawah sadarku. Beberapa detik berikutnya, aku mulai yakin bahwa itu benar-benar dia. Aku pun beranjak dari ranjang, membuka pintu dan keluar dari kamarku, bergegas menuju kamar Aleesha yang berjarak dua ruangan dari kamarku – terdapat sebuah bilik di antara kamar kami yang bisa dibilang adalah gudang.
Aleesha berjarak 5 tahun dariku, dan sekarang dia berusia 12 tahun. Aku menegaskan ini hanya untuk menggambarkan kebingunganku saat mendengar tangisannya. Tidur di kamar sendiri juga bukan hal baru baginya. Aku pun membuka pintu kamarnya, menyalakan sakelar lampu tepat di sebelah pintu, dan mendapati Aleesha meringkuk di atas tempat tidurnya, di balik selimut tebal yang digunakannya.
“Aleesha, ada apa?”
“A-aku.. takut,” jawabnya pelan.
“Mimpi buruk? kau sakit? atau apa?” tanyaku berturut.
Hening sejenak. Ia tidak berkata sedikitpun ketika aku bertanya kepadanya. Aleesha pun tiba-tiba saja diam. Aku masih bingung dengan apa yang terjadi. Bukan apa- apa, tapi ia sangat jarang sekali – atau sepertinya tidak pernah – bermimpi buruk. Kakek selalu mengajarkan kami untuk berdoa sebelum tidur untuk menghindari hal semacam itu dan itu terbukti benar. Beberapa detik berikutnya ia menanggapiku.
“Tidak, aku baik-baik saja,” jawabnya datar.
“Mungkin aku cuma mimpi buruk, sedikit saja,” lanjutnya.
Kebingunganku pun makin menjadi-jadi ketika aku mendengar jawabannya. Tapi karena sekarang ini jam masih menunjukkan sekitar pukul 3 pagi, aku tak mau memperpanjangnya.
“Pasti kau lupa baca doa, berapa kali Kakek bilang jangan lupakan itu. Sudah, sekarang baca doa lalu lanjutkan tidurmu. Kurasa kau hanya kelelahan.”
Aku pun mengusap kepalanya, mematikan lampu kamarnya, sembari mengucapkan selamat malam kepadanya. Aku memutuskan untuk sholat tahajud sebelum kembali tidur. Mungkin ini bukanlah sebuah masalah. Tetapi terbangun di sepertiga malam dan mendapati Aleesha menangis di atas kasurnya tanpa sebab yang jelas, pastinya akan menjadi pikiranku di esok hari. Aku sangat menyayanginya. Aku merasa tidak punya orang lain, selain Aleesha dan Kakek.
—–
Alarm dari hp-ku berbunyi. Aku mematikannya dan menemukan bahwa aku terlambat bangun hampir setengah jam dari alarm yang seharusnya berbunyi. Setelah tahajud tadi, aku tidak tidur hingga azan subuh berkumandang. Setelah sholat subuh, aku memutuskan untuk kembali tidur karena aku benar-benar masih merasakan ngantuk yang luar biasa. Untung saja ini adalah hari Minggu, jadi mungkin aku bisa melanjutkan tidurku sebentar lagi saja.
Kakek Hassan bilang bahwa hari ini sampai 4 hari ke depan dia akan pergi ke Ankara untuk mendiskusikan sebuah proyek bersama klien dan rekan kerjanya – kakek kami adalah seorang kontraktor. Jadi dia berpesan kepadaku untuk menjaga Aleesha.
Kakek juga telah meninggalkan beberapa stok dan bahan makanan yang cukup untuk beberapa hari ke depan. Aku sedikit bingung dengan pesan darinya untuk aku bisa menjaga Aleesha. Maksudku, tentu saja aku akan melakukannya. Dia adalah orang yang paling kusayang. Kenapa Kakek berpikir kalau aku akan membiarkannya? Tapi, ya sudahlah. Mungkin dia cuma khawatir jika terjadi sesuatu pada kami.
Aku terbangun pukul sepuluh pagi, Kakek sudah pergi dan suasana rumah terasa sangat sepi. Pada hari libur seperti ini, biasanya – meskipun tidak selalu – Aleesha mengajak teman-temannya untuk main ke rumah. Aku pun bergegas mandi kemudian memasak untuk sarapan pagi kami. Setelah aku selesai mandi dan berpakaian, aku menuju dapur untuk memasak Kuymak – sarapan pagi khas Turki berupa bubur jagung keju – dan terlalu fokus melakukannya. Sampai-sampai setengah jam kemudian aku tersadar bahwa dari tadi tidak terdengar sama sekali suara atau bahkan sekedar aktivitas dari Aleesha. Aku meletakkan kedua mangkuk berisi Kuymak ke atas meja lalu kemudian memanggil Aleesha ke kamarnya.
“Aleesha, kau sudah bangun?
Hening, tidak ada jawaban. Aku mulai berpikir kalau sepertinya dia masih kelelahan. Wajar saja, kemarin dia baru pulang ke rumah sekitar jam 5 sore, setelah seharian mengikuti market day di sekolahnya. Atas dasar hal ini juga aku berasumsi bahwa kejadian tadi malam itu adalah karena ia kelelahan.
“Aleesha? Bangun, ini sudah jam 11. Ayo kita sarapan, abang sudah membuatkan Kuymak kesukaanmu.”
Ada apa ini. Tidak biasanya Aleesha seperti ini. Aku pun membuka pintu kamarnya, khawatir terjadi sesuatu padanya. Dari pintu aku bisa melihatnya kalau ia sudah terbangun, tapi dengan wajah yang sangat lesu dan tampak gemetar. Sontak, aku pun berlari ke kasurnya.
“Hei Aleesha, kau kenapa? Sakit?”
Aku menempelkan punggung tanganku ke dahi dan lehernya, dan aku mulai merasakan tubuhnya cukup panas. Aleesha demam. Dia benar-benar kelelahan setelah acara kemarin. Aku pun langsung meninggalkan Aleesha dan menuju dapur untuk segera mengambilkan Kuymak miliknya dan segelas air. Aku sedikit panik karena aku belum pernah menghadapi situasi semacam ini.
(Bersambung besok)
Discussion about this post