Karya: Deddy Mulyana
Hidayah
“Apa? Kau akan memeluk Islam?”
“Ya, Mommy.”
“Maksudmu, agama orang-orang Arab itu?”
“Bukan, Mommy. Islam bukan hanya untuk orang-orang Arab. Islam untuk seluruh manusia di muka bumi ini.”
“Kau tersesat, Suzanne. Demi Tuhan! Jangan lakukan itu!”
“Maaf, Mommy. Mommy tidak bisa menghalangi niatku.
Tidak ada seorang pun yang bisa menghalangiku.”
“Kau keras kepala, Suzanne.”
“Maafkan aku, telah mengecewakanmu, Mommy.
Percayalah, aku merasa damai dengan keputusanku ini. Aku tahu,
Mommy tak kan bisa memahami betapa aku telah menemukan
kebenaran yang selama ini kucari-cari. Mommy tak perlu
khawatir, aku tetap anakmu dan akan tetap berbakti padamu.”
Bruk! Suzanne mendengar telepon di seberang sana ditutup. Aku telah membuat ibuku marah, bisik hatinya. Ya, Tuhan, berilah kedua orang tuaku juga petunjuk-Mu, seperti yang telah Engkau berikan kepadaku.
Suzanne merasa tubuhnya menggigil. Ia mengepal-ngepalkan tangannya yang terasa berkeringat. Napasnya terengah-engah, tidak teratur. Lalu ia bangkit dari kursi, mengambil segelas air dingin dari kulkas yang terletak di sudut apartemennya.
Diteguknya air itu perlahan. Ia merasa lebih nyaman sekarang. Ia menarik napasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Dadanya terasa mulai lapang.
Dari jendela apartemennya ia melihat hari telah terang. Seberkas cahaya mentari menerobos masuk lewat jendela yang terbuka. Angin sejuk terasa menyapu wajahnya. Di halaman sana bunga Tulip telah merekah, seolah membanggakan keindahannya.
Mekarnya bunga itu menandakan keberlangsungan musim semi yang dinantikan dan disukai banyak orang seusai musim dingin yang tidak sekadar mendinginkan tubuh, tetapi juga mendinginkan hati.
Suhu udara menjadi lebih hangat, membuat perasaan pun menjadi lebih ceria. Ini hari baru. Aku akan memulainya dengan semangat yang baru. Aku akan kuat dan tegar untuk menjalani hari-hari mendatang.
Ya, Tuhan, bantulah aku. Suzanne mencoba menghibur diri sendiri.
Aku tahu hari-hari mendatang akan jauh lebih sulit. Akan ada banyak godaan dan tantangan yang harus kuhadapi. Tetapi aku yakin, Tuhan akan melindungiku. Jam di dinding telah menunjukkan pukul delapan pagi.
Berarti masih ada waktu sekitar dua jam lagi baginya untuk mempersiapkan diri menjadi manusia yang baru. Manusia baru?
Ya, pukul sepuluh nanti ia akan mengikrarkan syahadat di Islamic Center yang terletak di Massachusetts Avenue, tempat paling tenteram di Washington DC, ibu kota Amerika, yang telah beberapa kali ia kunjungi.
Suzanne tak ingat lagi kapan pertama kalinya ia mengunjungi pusat Islam itu. Yang pasti, waktu itu ia datang ke sana sebagai pengunjung biasa, semacam turis. Islamic Center memang terbuka bagi siapa saja yang ingin melihat-lihat keadaan Pusat Islam itu, kegiatan-kegiatannya, dan perpustakaannya.
Kebetulan hari itu adalah hari Minggu. Pusat Islam cukup ramai. Suzanne melihat banyak wanita berpakaian tertutup sedang mendengarkan ceramah yang disampaikan seorang imam. Ia melihat anak-anak sedang dibimbing seorang guru membaca kitab di sebuah ruangan lainnya.
Ada pula sejumlah wanita berkulit putih dan berkulit hitam yang tampak di kompleks bangunan itu, termasuk mereka yang berseliweran. Bagaimana mungkin mereka tertarik dengan agama ini? pikir Suzanne saat itu, penuh keheranan. Yang ia ketahui, Islam itu kejam. Para pemeluk nya pendendam. Buktinya, para teroris itu, seperti di New York dan Paris. Juga Osama bin Laden.
Suzanne pun pernah membaca bahwa Nabi Islam itu nabi palsu, bahwa kitab yang diklaim Muhammad sebagai wahyu Tuhan itu adalah karangannya sendiri. Muhammad hanya seorang penyair yang sering terkena penyakit ayan, pikirnya. Pokoknya ia tidak simpatik kepada Islam.
Dan itu ia katakan kepada Muslimah Amerika yang sedang bertugas di perpustakaan Islamic Center, hanya saja dengan cara yang lebih halus dan hati-hati.
“Oh, jadi Anda berpendapat Islam itu menindas kaum wanita? Bila Islam demikian, saya tidak akan memeluknya. Tidak pula kaum Muslimah Amerika lainnya,” sergah petugas perpustakaan yang berbusana muslimah itu.
“Buku-buku yang saya baca mengatakan begitu,” tangkis Suzanne.
“Buku-buku yang mana? Saya kira buku-buku yang Anda maksud itu ditulis oleh para orientalis yang bodoh tentang Islam atau membenci Islam. Dengan membaca buku-buku itu, Anda tentu saja keliru memahami Islam.”
“Lalu bagaimana dengan para teroris itu? Bagaimana Khomeini, Yasser Arafat, Khadafy, Saddam Hussein, dan Osama bin Laden. Mereka semua orang-orang Islam, kan?” serang Suzanne.
Petugas itu tersenyum. Lalu ia berujar,
“Orang-orang yang Anda sebut itu adalah manusia biasa saja. Perilaku mereka tidak sepenuhnya mewakili Islam. Akan salah kaprah jika kita menilai Islam dengan menilai perilaku para penganutnya. Lagi pula, istilah teroris itu bergantung kepada siapa yang memiliki kamus istilah itu. Mereka mungkin teroris bagi Amerika tetapi pahlawan bagi bangsanya.
Ali bin Abi Thalib, seorang sahabat Nabi pernah berkata, ‘Janganlah mencari kebenaran lewat manusia; temukanlah dulu kebenaran dan kemudian engkau akan mengetahui mereka yang mengikutinya.’“
Maaf, saya tidak bermaksud mendakwahi Anda. Saya rasa pendapat sahabat Nabi itu benar,” lanjut petugas itu.
Suzanne tak tahu apa yang harus ia katakan. Ia mengakui dalam hati bahwa selama ini ia memang mengetahui Islam dari buku-buku yang ditulis oleh para orientalis, juga dari surat kabar, majalah dan televisi Amerika, dan juga dari internet yang kontennya tidak menyukai Islam.
“Dapatkah saya membaca buku-buku tentang Islam yang sebenarnya di perpustakaan ini?” tanya Suzanne.
“Tentu saja. Bahkan Anda pun dapat meminjam buku-buku itu dari sini untuk Anda baca di rumah.”
“Baik. Terima kasih. Kapan-kapan saya akan datang lagi ke sini untuk meminjam buku-buku itu.”
Suzanne permisi meninggalkan perpustakaan. Sebelum ia berlalu, petugas perpustakaan itu masih sempat berpesan,
“Untuk mengetahui Islam, bacalah juga Qur’an, kitab suci kami. Anda tahu, dulu saya juga keliru memahami Islam. Tetapi setelah saya mempelajari Islam dari buku-buku yang ditulis oleh orang-orang
Islam sendiri dan dari Qur’an, pandangan saya berubah tentang Islam.”
Sebelum keluar dari kompleks Pusat Islam, Suzanne mampir di toko dan membeli sebuah kitab Qur’an yang diterjemahkan oleh Muhammad Marmaduke Pichthall, seorang Muslim berkebangsaan Inggris yang awalnya seorang non-Muslim. Dan malam itu juga di apartemennya ia mulai membaca lembaran demi lembaran kitab yang berjudul The Glorious Qur’an itu.
Semula Suzanne menduga bahwa dalam kitab itu ia akan menemukan uraian-uraian tak masuk akal atau saling bertentangan, seperti yang ia temukan dalam kitab suci agama kedua orang tuanya.
Ternyata hingga menamatkan kitab itu, ia tak menemukan sesuatu pun yang ia rasa irasional, meskipun ia tidak sepenuhnya memahami ayat-ayat dalam Qur’an. Dan itu membuat Suzanne semakin penasaran untuk memahami Islam lebih jauh lagi.
“Bila memang ini agama yang benar, aku tidak akan ragu-ragu untuk memeluknya,” tekadnya.
Sebulan setelah berkunjung ke Islamic Center, atau sehari setelah selesai membaca The Glorious Qur’an, Suzanne datang lagi ke Pusat Islam untuk meminjam buku-buku dari perpustakaannya. Petugas yang dulu ternyata masih mengingat kedatangan Suzanne yang pertama.
“Saya senang Anda datang lagi,” sambut petugas perpustakaan itu. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin meminjam buku.”
“Oh, baik.”
“Buku-buku apa yang dapat Anda sarankan untuk saya baca?”
“Tunggu sebentar.”
Petugas berhijab itu mencari-cari buku di rak. Ia mengambil beberapa buku dan menyodorkannya kepada Suzanne.
“Saya rasa buku-buku ini cocok untuk Anda baca,” kata petugas dengan ramah. Suzanne menerima ketiga buku yang disodorkan.
Diliriknya para pengarang masing-masing buku: Sayyid Qutb, Maryam Jamilah, dan Abdul A’la Maududi. Itu buku-buku klasik tetapi cukup representatif mengenai Islam. Lalu ia membawa pulang ketiga buku itu dan membacanya satu demi satu.
Dua minggu kemudian, selesai membaca ketiga buku itu, ia datang lagi ke perpustakaan Islamic Center dan meminjam buku-buku lainnya yang lebih kontemporer, seperti yang ditulis Asghar Ali Engineer dan Tariq Ramadan.
Begitulah seterusnya. Di samping membaca buku-buku, ia pun telah beberapa kali bertanya kepada ulama di Pusat Islam tentang hal-hal yang kurang ia pahami.
Waktu berjalan terus. Enam bulan setelah perkenalannya dengan Islam lewat Qur’an, Suzanne merasa bahwa Islamlah yang dulu ia benci–agama yang justru ia cari-cari selama ini. Ia belum sepenuhnya yakin akan kebenaran Islam, tetapi ia merasa Islam begitu sederhana, logis, manusiawi, namun komprehensif.
Bertahun-tahun Suzanne mencari kebenaran itu. Ia berlari dari satu agama ke agama lainnya, termasuk Hindu dan Buddha. Kini tampaknya ia telah menemukan permata itu, permata yang baru diangkat dari lumpur, dan ternyata asli kemudian semakin cemerlang setelah ia menggosok-gosoknya.
Muhammad itu ternyata utusan Allah Yang Mulia, bukan penipu. Islam tampak semakin jernih bagi Suzanne. Keyakinan nya akan kebenaran agama itu kian kental. Tetapi ia pun semakin gelisah. Ia sadar, bila ia masuk Islam, ia mungkin akan disisihkan masyarakat sekelilingnya.
Dan seperti juga salah seorang koleganya yang memeluk Islam, dengan cara yang halus ia mungkin juga akan dipecat dari tempatnya bekerja bila ia ketahuan memeluk agama “asing” di negaranya itu. Islam, agama yang menuntut para penganutnya untuk menunaikan salat lima kali sehari semalam, memang dianggap kontra-produktif bagi perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan orang-orang Islam.
“Tetapi, oh, pengembaraan rohani ini begitu nikmat. Rasanya aku telah sampai pada batas di mana aku takkan mungkin surut lagi,” desahnya.
Lalu pada suatu malam yang sunyi dengan mata basah, Suzanne berdoa di kamarnya,
“Tuhan, Engkau adalah Tuhan yang Satu yang kupercayai sejak aku kecil. Tunjukkanlah jalan-Mu. Aku merasa terasing di tengah-tengah masyarakatku yang materialistis dan menderita krisis moral. Bila memang Islam adalah agama-Mu yang dapat menyelamatkanku, maka lapangkanlah hatiku.Namun jika agama ini keliru, jauhkanlah aku darinya dan buatlah aku membencinya.”
Doa Suzanne terjawab. Keesokan harinya ia merasa hatinya amat sejuk. Dan tiba-tiba saja ia merasa rindu untuk mengunjungi Pusat Islam di Massachusetts Avenue. Dorongan hati itu begitu kuat. Suzanne pun mendatangi tempat itu lagi. Ia bertemu dengan Imam Muhammad Nur yang telah ia kenal. Sang
Imam tidak begitu kaget mendengar kehendak Suzanne untuk masuk Islam.
“Apakah Anda telah memikirkan masak-masak keputusan Anda itu? Juga risikonya bagi Anda?” tanya Imam.
Suzanne mengangguk-angguk dengan pandangan mata berbinar.
“Tekad saya sudah bulat, Imam,” kata Suzanne.
“Seperti yang pernah saya katakan. Tidak ada paksaan dalam Islam. Tetapi sekali seseorang itu memasuki Islam, ia dituntut untuk terus mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajarannya.”
“Saya mengerti, Imam. Dengan bimbingan ahli-ahli agama di sini, saya memang ingin terus mendalami dan mengamalkan Islam.”
Imam Muhammad Nur berpikir sejenak.
“Begini saja, Suzanne. Pertimbangkanlah untuk terakhir kalinya niat Anda itu hingga hari Sabtu depan. Bila Anda tetap teguh dengan niat Anda, datanglah kemari Sabtu depan pukul sepuluh pagi untuk mengucapkan dua kalimat syahadat,” kata Imam akhirnya.
“Baik kalau begitu, Imam,” jawab Suzanne.
Lalu Suzanne pun pulang kembali ke apartemennya. Sebelumnya, ia sempat mampir di toko di Islamic Center itu untuk membeli satu stel busana muslimah dan seperangkat alat salat.Hari-hari terakhir menjelang hari bersyahadat itu begitu menenteramkan bagi Suzanne. Ia merasa datangnya hari Sabtu itu begitu lambat. Ia merasa tak sabar untuk menjadi manusia baru.
Dan kini. Ya kini. Hari yang ia nanti-nantikan itu telah tiba. Suzanne melirik lagi ke jam dinding. Hampir pukul sembilan. Bergegas ia mandi. Ia mencuci rambut dan sekujur tubuhnya sebersih mungkin. Setelah mengeringkan rambut dengan alat pengering rambut, ia berdandan serapi mungkin.
Inilah pertama kalinya ia mengenakan busana muslimah. Ia merasa agak kikuk melihat tubuhnya sendiri terbalut busana itu. Namun perasaan itu hanya sebentar saja mengganggunya. Selepas itu, ia merasa bangga sebagai wanita yang berharkat, yang nilainya seperti pernah dikatakan petugas perpustakaan Pusat
Islam yang sudah ia kenal akrab kini bukan terletak pada penampilannya, tetapi pada kesucian batinnya.
Suzanne melangkah keluar apartemennya. Ayunan langkah nya terasa ringan. Ia merasa begitu optimis dan percaya diri.
Cuaca begitu cerah. Langit musim semi biru. Hanya ada sedikit gemawan di sana. Kalau saja tidak ada orang yang memperhatikannya, ingin rasanya ia melompat-lompat karena merasa girang.
Beberapa penghuni apartemen yang berpapasan dengannya menatapnya dengan pandangan mata aneh, mungkin karena ia berbusana dengan model yang lain dari biasanya. Ia tidak mempedulikan pandangan-pandangan mata ganjil itu.
Suzanne terus melangkah, menuju mobilnya yang terparkir di halaman sebelah sana. There is no way back, batinnya. Dengan mobilnya, ia akan sampai di Islamic Center dalam waktu tidak lebih dari dua puluh menit.
Suzanne berniat, sore nanti, seusai pensyahadatannya, ia akan menulis e-mail mengenai pengunduran dirinya kepada perusahaan pakaian di mana ia bekerja sebagai perancang mode yang kreatif.
“Aku masih muda. Tenagaku masih kuat untuk mencari pekerjaan lain yang sesuai bagiku dan tidak menghambatku mengamalkan Islam,” Suzanne menghibur diri sendiri.
Langit musim semi semakin biru. Udara semakin hangat. Dalam mobilnya menuju Islamic Center, Suzanne tersenyum bahagia, menyongsong hari-hari barunya. (*)
PADA SUATU MUSIM SEMI, Kisah hati yang bermuara
Penulis : Deddy Mulyana
Sampul : Soft cover
Isi : Book paper/232Hal
Dimensi : 13.5×20.5cm
Penerbit: Khazanah Intelektual
Pemesanan: 08112202496
(Penerbitan cerpen fiksi Islami karya Prof. Deddy Mulyana ini ada kerja sama antara redaksi Avesiar.com dengan penerbit Khazanah Intelektual)
Discussion about this post