Karya: Deddy Mulyana
Mencari Kedamaian
Ia sedang mencuci beras di sumur ketika suara seorang pria memanggilnya dari samping. Intan menoleh.
“Don!” serunya, agak kaget.
“Kamu sedang apa di sini? Bagaimana kamu tahu aku ada di sini?” Intan bangkit.
Doni tersenyum. “Cari info, dong. Aku kan wartawan. Menemukanmu di sini bukan perkara sulit bagiku.”
“Apa maumu menemuiku, sih?” tanya Intan ketus.
“Mau mengambil foto-fotoku lagi dengan paha dan dada terbuka, ya?”
Tidak! Kali ini aku tidak mau, biar dibayar berapa pun. Aku telah berniat mengundurkan diri dari profesi yang kujalani selama ini. Maafkan aku, Don. Jangan tawari aku pekerjaan berselera rendah itu lagi. Sekarang aku sudah insyaf.”
“Jangan sewot dulu dong, Tan. Aku ke sini mau membantumu mewujudkan impian-impianmu menjadi kenyataan. Ada seorang sutradara muda dan berbakat, dia tertarik menjadikanmu pemeran utama di film terbaru yang akan diproduksinya.”
“Dan aku harus main buka-bukaan atau melakukan adegan sensual lagi?” sergah Intan.
“Seperti ketika aku jadi pemain figuran?”
“Tidak seburuk itu. Hanya saja, berdasarkan skenario yang sudah kubaca, kamu harus melakukan adegan diperkosa. Tapi pada dasarnya peran yang harus kamu mainkan itu peran serius, permainan watak.”
Doni memandang Intan yang sepertinya ragu-ragu.
Memang sudah lama, ia ingin menjadi seorang bintang film andal dan diperhitungkan. Kesempatan itu kini mulai terbuka.
Haruskah aku menolaknya? Intan menimbang-nimbang.
“Mengapa harus bingung, Tan? Ayolah terima peluang emas ini. Kamu sudah lama kan bercita-cita menjadi artis top, yang memerankan film-film besar dan bermutu. Nah,mengapa tidak kamu terima saja tantangan ini? Mengapa kamu harus bersembunyi di pesantren ini? Apa sih yang kamu cari di sini?”
“Kedamaian, Don. Kedamaian. Sesuatu yang tidak pernah kuperoleh dari profesiku selama ini. Aku telah menemukannya di sini.” suara Intan melunak.
“Tak ada salahnya kalau kamu ingin beristirahat sejenak dari semua aktivitasmu dan belajar agama untuk sementara waktu. Tapi itu tidak berarti kamu harus meninggalkan kariermu yang telah kamu rintis sampai sejauh ini. Sayang, kan? Orang lain berlomba menjadi foto model, pemain sinetron, bintang film
terkenal, agar sukses. Kamu malah berusaha menghindari kesempatan ini. Coba pikirkan, Tan. Pikirkan. Bila nanti kamu berhasil dalam film ini, berbagai tawaran film lainnya akan datang padamu. Kamu juga bakal mendapat banyak tawaran sebagai model iklan nanti, malah sebagai influencer. Dan aku yakin kamu pun akan mendapatkan apa yang kamu idam-idamkan dalam sekejap. Rumah dan mobil yang bagus, pelesir ke luar negeri, dan tabungan uang yang banyak di bank.”
Rumah mentereng, mobil mewah, Amerika, Eropa, kartu kredit. Semua itu berkelebat di benak Intan. Lalu ia pun akan memberikan banyak uang kepada ibunya untuk membiayai kebutuhan sehari-hari keluarganya, juga membiayai sekolah adik-adiknya. Bayangan itu begitu menyenangkan.
Tapi, Tidak! Tidak! Jeritnya dalam hati. Aku harus tegar. Aku tak mau kembali ke dunia itu lagi. Citraku sudah terlanjur negatif di mata masyarakat, terutama mereka yang taat beragama. Mereka takkan percaya bahwa aku dapat menjadi pemain film yang hebat. Lagi pula bakatku pun tidak terlalu istimewa sebagai pemain film. Mana mungkin aku bisa sukses di dunia film.
“Aku tidak tertarik lagi pada perhiasan dunia itu, Don. Kuharap kamu mengerti,” kata Intan kemudian.
Ia heran bisa mengatakan tidak. Padahal tadi ia merasa nyaris goyah oleh godaan dunia yang ditawarkan Doni.
“Aku telah melakukan banyak dosa, Don. Dan aku telah mengundang banyak orang untuk berbuat dosa. Gara-gara aku pernah terlalu berani beradegan terbuka dalam film, juga berbusana minim di beberapa situs internet, banyak lelaki yang memelototi tubuhku yang hampir telanjang. Bukan tidak mungkin ada di antara mereka yang terpengaruh lalu menggerayangi atau bahkan memerkosa perempuan-perempuan lain yang mereka temui. Siapa yang mau menanggung dosa-dosa mereka itu coba? Siapa?”
“Wah, wah, wah. Kamu pintar berkhotbah sekarang, Tan. Siapa yang mengajarimu?”
“Kiai Haji Nurdin yang memimpin pesantren ini. Sejak aku datang dua minggu lalu, tiap hari aku mengikuti pengajian bersama para mahasiswa yang memanfaatkan liburan mereka dengan menuntut ilmu di tempat ini.”
“Mereka itukah?” Doni menunjuk sekelompok laki-laki dan perempuan yang tengah bermain voli di pelataran sana.
Intan mengangguk. Semua perempuan yang sedang bermain voli itu mengenakan hijab.
“Kamu lihat Don, wajah-wajah itu. Mereka pun mencintai kehidupan ini, tetapi bukan hidup yang penuh hura-hura. Betapa ingin aku seperti mereka.”
“Kamu memang telah berubah banyak sejak tinggal di sini, Tan.”
“Ya, aku sadar, sekarang popularitas dan harta yang berlimpah tidak selalu membawa kebahagiaan. Sumber kebahagiaan sejati adalah kedamaian hati. Betapa banyak orang yang popular dan kaya raya. Tetapi mereka sesungguhnya tidak bahagia. Aku tidak ingin seperti mereka.”
“Jadi kamu bahagia tinggal di sini?”
“Ya.”
“Apa pekerjaanmu setiap hari selain mengikuti pengajian?”
Mereka tampak begitu damai, tenang, dan optimis dalam memandang masa depan mereka. Mereka seakan memiliki sesuatu yang paling berharga di dunia ini. Iman. Ya, itulah yang mereka miliki.“
“Menyapu halaman, membersihkan lantai rumah kiai dan pesantren ini. Juga memasak untuk para santri.”
“Dan kamu akan melakukan pekerjaan-pekerjaan itu seterusnya di sini?”
“Mungkin ya, mungkin tidak. Tetapi yang jelas aku takkan kembali ke dunia lamaku yang penuh glamor. Aku ingin bertobat dan menebus dosa-dosaku yang telah lalu.”
Doni merasa telah kehabisan kata. Tak tahu lagi apa yang harus ia ucapkan. Hari semakin sore. Matahari sebentar lagi akan tenggelam di horizon sebelah barat. Sinarnya yang kekuningan menyemburat ke segala arah. Angin berembus sepoi, menggoyangkan perdu-perdu, dan menggugurkan dedaunan dari pepohonan di sekitar pesantren. Intan sungguh menikmati suasana itu. Oh, senja yang indah di Bandung Utara. Senja yang damai.
“Baiklah kalau begitu, Tan.” Ujar Doni akhirnya. “Aku tak berhak memaksamu melakukan apa yang tak kamu sukai. Aku pamit sekarang.”
“Kamu mau ke mana sekarang, Don?” tanya Intan.
“Langsung pulang ke Jakarta.”
“Selamat jalan, kalau begitu.”
“Kabari aku bila kamu berubah pikiran.”
Intan mengangguk, sekadar untuk menyenangkan hati Doni. Doni berbalik dan melangkah pergi. Baru beberapa langkah ia berjalan, Intan memanggilnya dari belakang.
“Apa?” kata Doni sambil berbalik ke arah Intan.
“Jadilah wartawan yang baik, Don. Jangan foto perempuan setengah telanjang lagi. Dan jangan menulis gosip murahan,” kata Intan.
“Mengapa?” Doni menyeringai.
“Pak Kiai bilang, siapa pun yang punya andil atas suatu kemungkaran ia akan turut menanggung dosa kemungkaran itu. Aku tak bermaksud mengguruimu, Don. Aku hanya menyampaikan nasihat dari Pak Kiai yang kuterima tempo hari. Karena kamu sahabat baikku, aku merasa wajib menyampaikan pesan ini padamu.”
“Terima kasih atas nasihatmu, Tan. Akan kupikirkan pesanmu itu. Selamat tinggal.”
Doni memutar tubuhnya kembali. Dan tanpa menoleh lagi ia meninggalkan Intan yang masih termangu-mangu di sumur itu.
Ia tahu betapa banyak orang yang menertawakan nasihat kiai itu. Namun ia yakin fatwa itu benar. Betapa aneh hidup ini, pikirnya. (*)
PADA SUATU MUSIM SEMI, Kisah hati yang bermuara
Penulis : Deddy Mulyana
Sampul : Soft cover
Isi : Book paper/232Hal
Dimensi : 13.5×20.5cm
Penerbit: Khazanah Intelektual
Pemesanan: 08112202496
(Penerbitan cerpen fiksi Islami karya Prof. Deddy Mulyana ini ada kerja sama antara redaksi Avesiar.com dengan penerbit Khazanah Intelektual)
Discussion about this post